Banjir Sentimen Negatif, Pelemahan Rupiah Terdalam di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 November 2018 09:33
Banjir Sentimen Negatif, Pelemahan Rupiah Terdalam di Asia
Iustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. Memang tidak ada faktor yang bisa mendukung penguatan rupiah hari ini, yang ada malah menjadi beban bagi mata uang Tanah Air. 

Pada Jumat (9/11/2018) pukul 09:10 WIB, US$ 1 di pasar spot sama dengan Rp 14.635. Rupiah melemah 0,69% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. 


Dalam 3 hari terakhir, rupiah terus menanjak dan menguat sampai 1,82%. Selama 3 hari itu bahkan rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia. 


Namun hari ini sepertinya bensin rupiah habis. Rupiah pun terseret arus pelemahan mata uang Asia di hadapan dolar AS. 

Ya, mayoritas mata uang Asia memang tidak bisa berbicara banyak di hadapan greenback. Hanya yen Jepang dan rupee India yang sejauh ini mampu menguat, sementara sisanya tidak selamat. 

Bahkan dengan depresiasi 0,65%, rupiah jadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Dari raja Asia, nasib rupiah berubah total menjadi yang terlemah di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 09:16 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Banyak faktor yang membuat langkah rupiah begitu berat. Dari AS, greenback mendapat kekuatan dari hasil rapat The Federal Reserve/The Fed. Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Bahkan The Fed menyebut ada risiko perlambatan investasi di Negeri Paman Sam. 


Namun risiko tersebut tidak menyurutkan niat bank sentral AS untuk tetap dalam mode pengetatan kebijakan moneter. Dalam pernyataan tertulisnya, The Fed menyebut siklus kenaikan suku bunga acuan secara gradual masih akan ditempuh. 

"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan The Fed. 

Pelaku pasar pun mendapatkan petunjuk yang lebih jelas mengenai potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat 19 Desember adalah 75,8%. Naik dibandingkan posisi kemarin yaitu 74,6% dan seminggu yang lalu sebesar 68,8%. 

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut menaikkan imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS akan meningkat dan nilainya semakin kuat. 

Sementara dari regional, data ekonomi China yang sempat impresif kembali menjadi sentimen negatif. Biro Statistik Nasional China menyebutkan, inflasi produsen pada Oktober 2015 tercatat 3,3% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,6%. 

Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha China mengalami penurunan gairah. Salah satunya akibat perang dagang dengan AS, yang merupakan negara tujuan ekspor utama Negeri Tirai Bambu. 

Saat produk China makin sulit masuk ke Negeri Adidaya karena berbagai bea masuk, industri dalam negeri pun kesulitan. Geliat industri berkurang, sehingga kenaikan harga tidak secepat sebelumnya. 

China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga hidup-mati China akan sangat mempengaruhi negara-negara Asia lainnya. Ketika kinerja ekonomi China melambat, maka ada risiko menurunkan aktivitas para tetangganya termasuk Indonesia. 

Kemudian dari dalam negeri, sentimen pemberat rupiah adalah persepsi pasar terhadap rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018. Data ini memang kemungkinan besar baru keluar setelah pasar tutup, tetapi pasar sudah terlanjur berekspektasi ada pelemahan yang lebih dalam ketimbang kuartal II-2018, terutama di pos transaksi berjalan (current account). 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan defisit pada kuartal III-2018 akan lebih dalam, karena neraca perdagangan mengalami tekor yang lebih parah.  


Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.  

Saat defisit transaksi berjalan melebar cukup parah, rupiah tentunya akan kehilangan pijakan untuk bisa menguat. Ini menjadi alasan kuat bagi investor untuk melepas aset-aset berbasis rupiah sehingga depresiasi menjadi sulit terhindarkan. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular