Pemilu Sela AS Bawa Manfaat & Mudarat Bagi RI

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
07 November 2018 13:45
Pemilu Sela AS Bawa Manfaat & Mudarat Bagi RI
Foto: Presiden AS Donald Trump berbicara saat kampanye di Columbia Regional Airport di Columbia, Missouri, AS, 1 November 2018. REUTERS / Carlos Barria
Jakarta, CNBC Indonesia - Negara Amerika Serikat (AS) tengah jadi perhatian dunia, seiring diadakannya pemilihan umum (pemilu) sela saat ini. Hasil dari pemilu ini menjadi penting, sebab akan menentukan arah politik Negara Adidaya ini dalam dua tahun ke depan.  

Tentu ini jadi concern tersendiri bagi pasar global, terlebih menyangkut arah kebijakan politik dan ekonomi negara tersebut. Sejak tampuk kekuasaan beralih dari Barack Obama ke Donald Trump, ekonomi AS diakui memang semakin kuat.  



Sejak resmi berkantor di Gedung Putih pada awal 2017, pertumbuhan ekonomi negara tersebut berangsur-angsur naik. Puncaknya di kuartal III-2018 ini, pertumbuhan ekonomi terakselerasi hingga 3,04% atau tertinggi sejak kuartal II-2015. 

Berbagai kebijakan yang dilakukan Trump memang ampuh mendorong laju roda perekonomian. Salah satu kebijakan populis yang dilakukan yaitu reformasi pajak berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi.  

Saat itu, besaran pajak korporasi turun cukup signifikan dari 35% menjadi 20%. Sementara pajak pribadi turun sedikit dari 39,6% ke 35%.  

Keberpihakan Trump terhadap korporasi yang cukup besar berhasil mendorong kinerja perusahaan-perusahaan di Negeri Paman Sam karena laba yang meningkat. Indeks-indeks saham utama pun melonjak tajam.  

Indeks S&P 500 melonjak hingga 22,04%, Dow Jones Industrial Average melesat 28,94%, dan Nasdaq Composite meroket 42,3% sejak Trump menghuni Gedung Putih pada 1 Januari 2017. Dampak kebijakan ini berimbas pada penguatan ekonomi ditinjau dari beberapa hal.


Pertama meningkatnya upah rata-rata yang diterima. Per Oktober, tingkat upah rata-rata tumbuh mencapai 3,1% Year-on-Year (YoY) atau tertinggi sejak April 2009.
 

Kedua, pengeluaran masyarakat. Dalam mengukur variabel tersebut, indikator yang digunakan yaitu Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE). Per September 2018, Core PCE berada di level 2% dan bertahan sejak Mei 2018.  

Seperti yang diketahui, Core PCE dan tingkat upah rata-rata jadi acuan bank sentral AS Federal Reserve dalam mengukur inflasi. Tentu ini berhubungan dengan stance kebijakan moneter yang akan diambil ke depannya.

The Fed telah menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin, dalam merespons perkembangan ekonomi di AS.
 

Dihubungkan dengan Pemilu sela, jika Partai Republik sebagai pendukung pemerintah memenangi pemilu legislatif ini, maka program-program Trump dalam mendukung pertumbuhan ekonomi akan terus berjalan. Andai itu benar, maka normalisasi kebijakan moneter di AS  terus terjadi dan mendorong aliran modal asing masuk ke pasar keuangan Negeri Paman Sam.


Dari 100 kursi yang diperebutkan, Partai Republik masih mendominasi Senat. Data per pukul 13:39 WIB, Partai Republik menguasai 51 kursi (50%) dan Partai Demokrat sebanyak 42 kursi (42%).
 
Sementara di House of Representative (DPR), pertarungan masih berlangsung sengit. Dari 435 kursi yang diperebutkan, dan sudah terkonfirmasi 339, hasilnya masih menegangkan. Partai Republik merengkuh 188 kursi (43,2%) dan Partai Demokrat memenangkan 207 kursi (47,6%).



Perkembangan ini tentu membuat investor cenderung wait and see. Andai ini Demokrat memenangi pertarungan di DPR, maka dipastikan segala kebijakan ekonomi Trump tidak mudah diloloskan.
 
Sejauh ini ada tiga rancangan kebijakan yang sedang didorong Trump, yaitu reformasi pajak jilid 2, kebijakan perdagangan luar negeri dan pembangunan tembok pembatas di Meksiko untuk membatasi imigran gelap.
 
Dua kebijakan utama sangat berkait dengan arah pertumbuhan ekonomi AS ke depannya. Jika rancangan Trump mentok di legislatif, maka bisa dipastikan laju pertumbuhan ekonomi AS bisa terhambat.
 
Bahkan dampak lain yang mungkin terjadi adalah tingkat investasi di AS akan menurun. Dikutip dari CNBC International, beberapa investor akan berpikir ulang masuk ke pasar keuangan AS.
 
Mengapa ini mungkin terjadi? Ketika perlambatan ekonomi mulai terjadi, maka stance kebijakan moneter di Negeri Paman Sam bisa longgar. Hal tersebut menyebabkan tingkat imbal hasil di negara tersebut kurang menarik.

Alhasil, investor pun akan mencari pasar keuangan negara berkembang yang menawarkan imbal hasil tinggi, di antaranya Indonesia.
 
Seperti yang diketahui, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin ke level 5,75%. Hal ini menjadikan suku bunga acuan jadi salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN.
 
 
Kenaikan suku bunga acuan mendorong tingkat yield/ imbal hasil instrumen investasi berpendapatan tetap seperti obligasi pemerintah naik. Per hari ini, tingkat yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun merupakan yang tertinggi di ASEAN.
 
 
Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar keuangan Indonesia, sehingga berpotensi merebut aliran modal global. Imbas dari kondisi ini tentu jadi kabar positif, utamanya bagi nilai tukar rupiah.

Sejak awal tahun, rupiah telah terdepresiasi hingga 8% lebih dan berada di atas Rp 14.000/US$. Per pukul 13:00 WIB hari ini, rupiah berada di level Rp 14.670/US$ atau menguat 0,88% dibandingkan perdagangan kemarin.
 
 
Sejak tiga hari terakhir, arah nilai tukar memang cenderung menguat. Bahkan rupiah yang tadinya berada di level Rp 15.000/US$, akhir bergerak ke level di bawah Rp 14.700/US$.
 
Dengan memanfaatkan situasi investor yang galau terhadap pemilu sela di AS, maka ini jadi kesempatan untuk menarik modal asing masuk dan mendorong penguatan rupiah terus berlangsung.



TIM RISET CNBC INDONESIA
 
 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular