
Konsumsi China Lemah, Harga Batu Bara Turun 5,7% Sepekan Lalu
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 November 2018 14:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak acuan terkoreksi 5,7% ke di sepanjang pekan lalu secara point-to-point. Pada akhir pekan lalu, harga batu bara berada di level US$ 103,4/Metrik Ton (MT), masih lebih rendah dari sepekan sebelumnya sebesar US$ 109,65/MT.
Dengan level saat ini, harga batu bara masih betah berada di di level terendahnya nyaris dalam 6 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Mei 2018. Harga si batu hitam bahkan sempat melemah selama 5 hari berturut-turut di pekan lalu.
Melambatnya perekonomian Benua Kuning akibat perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, plus meningkatnya stok batu bara di China, menjadi faktor utama pemberat harga batu bara di sepanjang pekan lalu.
Pekan lalu, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur periode Oktober tercatat 50,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,8. Angka di atas 50 menandakan pelaku usaha masih optimistis, tetapi optimisme itu memudar.
Sepertinya China sudah mulai merasakan dampak signifikan dari perang dagang dengan AS. Maklum, AS adalah pasar ekspor utama China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS tercatat US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor mereka.
Sebelumnya, pada kuartal-III 2018, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.
Terlebih, dampak perlambatan ekonomi tersebut nampaknya mulai menular ke mitra dagang China, salah satunya Korea Selatan. Pekan lalu, output industri manufaktur Negeri Ginseng juga diumumkan turun 2,5% pada September dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan Agustus yang masih tumbuh 1,3%.
Sebelumnya, perekonomian Korea Selatan "hanya" tumbuh 2% YoY, di bawah konsensus yang sebesar 2,2%, pada kuartal III-2018.
Perdagangan dan aktivitas ekonomi yang melambat tentu akan menimbulkan persepsi bahwa permintaan terhadap energi akan tertekan. Kalau permintaan energi turun, maka harga batu bara juga pasti turun.
Sebagai tambahan, faktor negatif yang menekan harga si batu hitam adalah tingkat konsumsi batu bara Negeri Panda yang mengalami tren penurunan. Penyebabnya adalah permintaan pembangkit listrik yang melemah, dibuktikan oleh stok batu bara yang masih tinggi.
Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China terus meningkat dalam 3 pekan terakhir, ke level tertingginya sejak Januari 2015.
Terlebih, konsumsi batu bara China di musim dingin nanti diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin mendatang.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Panda. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat memengaruhi harga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/roy) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Dengan level saat ini, harga batu bara masih betah berada di di level terendahnya nyaris dalam 6 bulan terakhir, atau sejak pertengahan Mei 2018. Harga si batu hitam bahkan sempat melemah selama 5 hari berturut-turut di pekan lalu.
Melambatnya perekonomian Benua Kuning akibat perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, plus meningkatnya stok batu bara di China, menjadi faktor utama pemberat harga batu bara di sepanjang pekan lalu.
Pekan lalu, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur periode Oktober tercatat 50,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,8. Angka di atas 50 menandakan pelaku usaha masih optimistis, tetapi optimisme itu memudar.
Sepertinya China sudah mulai merasakan dampak signifikan dari perang dagang dengan AS. Maklum, AS adalah pasar ekspor utama China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS tercatat US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor mereka.
Sebelumnya, pada kuartal-III 2018, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.
Terlebih, dampak perlambatan ekonomi tersebut nampaknya mulai menular ke mitra dagang China, salah satunya Korea Selatan. Pekan lalu, output industri manufaktur Negeri Ginseng juga diumumkan turun 2,5% pada September dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan Agustus yang masih tumbuh 1,3%.
Sebelumnya, perekonomian Korea Selatan "hanya" tumbuh 2% YoY, di bawah konsensus yang sebesar 2,2%, pada kuartal III-2018.
Perdagangan dan aktivitas ekonomi yang melambat tentu akan menimbulkan persepsi bahwa permintaan terhadap energi akan tertekan. Kalau permintaan energi turun, maka harga batu bara juga pasti turun.
Sebagai tambahan, faktor negatif yang menekan harga si batu hitam adalah tingkat konsumsi batu bara Negeri Panda yang mengalami tren penurunan. Penyebabnya adalah permintaan pembangkit listrik yang melemah, dibuktikan oleh stok batu bara yang masih tinggi.
Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China terus meningkat dalam 3 pekan terakhir, ke level tertingginya sejak Januari 2015.
Terlebih, konsumsi batu bara China di musim dingin nanti diperkirakan tidak akan sekencang perkiraan sebelumnya. Pasalnya, China's National Climate Center memroyeksikan bahwa musim dingin yang akan datang akan lebih hangat dari biasanya. Alasannya, ada potensi datangnya El Nino di musim dingin mendatang.
Sebelumnya, musim dingin yang lebih "menggigit" dari biasanya diperkirakan akan menyebabkan peningkatan konsumsi batu bara oleh sejumlah pembangkit listrik Negeri Panda. Namun, saat sekarang cuaca justru diperkirakan lebih hangat, persepsi itu menjadi tidak berlaku.
Sebagai informasi, China adalah konsumen utama batu bara dunia, mencapai 1.892,6 metrik ton pada 2017 atau 51% dari total permintaan dunia. Satu negara menguasai lebih dari separuh permintaan global, sehingga sentimen menurunnya permintaan impor dari China akan sangat memengaruhi harga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/roy) Next Article Pasokan dari Negara Produsen Seret, Harga Batu Bara Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular