
Newsletter
Gairah Pasar Membuncah
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 November 2018 05:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali menutup hari dengan ceria pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik tipis 0,07%, sementara nilai tukar rupiah menguat tajam 0,49% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Penguatan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama Asia. Indeks Shanghai Composite naik 0,13%, Hang Seng melonjak 1,75%, dan Straits Times lompat 1,39%.
Sementara, senada dengan rupiah, seluruh mata uang Asia pun mampu perkasa di hadapan dolar AS. Hingga pukul 16.09 WIB, yuan China terapresiasi 0,4%, rupee India menguat 0,63%, won Korea Selatan naik 0,99%, dolar Singapura menguat 0,38%, dan baht Thailand terapresiasi 0,48%.
Arus modal memang sedang tidak berpihak kepada Negeri Paman Sam seiring pulihnya risk appetite pelaku pasar. Berbagai perkembangan positif membuat investor berani mengambil risiko dan masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dari AS, Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengungkapkan ada peluang Washington-Beijing akan berdamai dan mengakhiri friksi dagang yang memanas sejak awal tahun. Bahkan bisa saja bea masuk yang sudah diterapkan bakal dicabut.
"Tidak ada yang ditulis di atas batu. Jika ada kesepakatan dengan China, maka bisa saja berbagai bea masuk akan dihapuskan," ungkapnya kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Rencananya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan berdialog di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. "Kami mungkin akan melakukan dialog yang sangat bagus dengan Presiden Xi," ujar Kudlow.
Ketegangan perang dagang pun sedikit mereda, dan investor mulai keluar dari sarangnya. Pelaku pasar berani mengambil risiko dan masuk ke aset-aset di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia.
Selain itu, pelaku pasar juga optimis terhadap hasil pertemuan Politbiro Partai Komunis China yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping. Muncul indikasi adanya stimulus tambahan yang sedang disiapkan bagi perekonomian Negeri Panda.
Menurut pernyataan yang dirilis seusai pertemuan, kondisi perekonomian domestik dinyatakan sedang mengalami perubahan. Tekanan ke bawah (downward pressure) sedang meningkat, dan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut.
Aura positif juga datang dari Eropa. Inggris dan Uni Eropa dikabarkan mencapai kesepakatan sementara terkait nasib lembaga keuangan selepas Brexit.
The Times melaporkan, Perdana Menteri Inggris Theresa May sudah sepakat dengan Uni Eropa bahwa lembaga keuangan Negeri Ratu Elizabeth tetap bisa mengakses pasar Eropa Kontinental, meski nanti Inggris tidak lagi menjadi bagian Uni Eropa. Lembaga keuangan Inggris tetap bisa memberikan pelayanan hingga pertukaran data.
Selain dari Inggris, kabar positif lainnya adalah rilis data inflasi Zona Eropa periode Oktober yang sebesar 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,1%.
Inflasi Benua Biru yang mulai merangkak naik dengan stabil akan memantapkan sikap Bank Sentral Uni Eropa (ECB) untuk melakukan pengetatan moneter. Dimulai dengan mengakhiri stimulus moneter pada Desember 2018, dan menaikkan suku bunga acuan pada musim panas (tengah tahun) 2019.
Sentimen-sentimen positif ini membuat investor meninggalkan aset-aset aman (termasuk dolar AS) dan masuk ke instrumen berisiko. Pasar keuangan Benua Kuning pun diuntungkan karena menerima aliran dana yang keluar dari Negeri Paman Sam.
Penguatan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama Asia. Indeks Shanghai Composite naik 0,13%, Hang Seng melonjak 1,75%, dan Straits Times lompat 1,39%.
Sementara, senada dengan rupiah, seluruh mata uang Asia pun mampu perkasa di hadapan dolar AS. Hingga pukul 16.09 WIB, yuan China terapresiasi 0,4%, rupee India menguat 0,63%, won Korea Selatan naik 0,99%, dolar Singapura menguat 0,38%, dan baht Thailand terapresiasi 0,48%.
Arus modal memang sedang tidak berpihak kepada Negeri Paman Sam seiring pulihnya risk appetite pelaku pasar. Berbagai perkembangan positif membuat investor berani mengambil risiko dan masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dari AS, Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengungkapkan ada peluang Washington-Beijing akan berdamai dan mengakhiri friksi dagang yang memanas sejak awal tahun. Bahkan bisa saja bea masuk yang sudah diterapkan bakal dicabut.
"Tidak ada yang ditulis di atas batu. Jika ada kesepakatan dengan China, maka bisa saja berbagai bea masuk akan dihapuskan," ungkapnya kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Rencananya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan berdialog di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. "Kami mungkin akan melakukan dialog yang sangat bagus dengan Presiden Xi," ujar Kudlow.
Ketegangan perang dagang pun sedikit mereda, dan investor mulai keluar dari sarangnya. Pelaku pasar berani mengambil risiko dan masuk ke aset-aset di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia.
Selain itu, pelaku pasar juga optimis terhadap hasil pertemuan Politbiro Partai Komunis China yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping. Muncul indikasi adanya stimulus tambahan yang sedang disiapkan bagi perekonomian Negeri Panda.
Menurut pernyataan yang dirilis seusai pertemuan, kondisi perekonomian domestik dinyatakan sedang mengalami perubahan. Tekanan ke bawah (downward pressure) sedang meningkat, dan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut.
Aura positif juga datang dari Eropa. Inggris dan Uni Eropa dikabarkan mencapai kesepakatan sementara terkait nasib lembaga keuangan selepas Brexit.
The Times melaporkan, Perdana Menteri Inggris Theresa May sudah sepakat dengan Uni Eropa bahwa lembaga keuangan Negeri Ratu Elizabeth tetap bisa mengakses pasar Eropa Kontinental, meski nanti Inggris tidak lagi menjadi bagian Uni Eropa. Lembaga keuangan Inggris tetap bisa memberikan pelayanan hingga pertukaran data.
Selain dari Inggris, kabar positif lainnya adalah rilis data inflasi Zona Eropa periode Oktober yang sebesar 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,1%.
Inflasi Benua Biru yang mulai merangkak naik dengan stabil akan memantapkan sikap Bank Sentral Uni Eropa (ECB) untuk melakukan pengetatan moneter. Dimulai dengan mengakhiri stimulus moneter pada Desember 2018, dan menaikkan suku bunga acuan pada musim panas (tengah tahun) 2019.
Sentimen-sentimen positif ini membuat investor meninggalkan aset-aset aman (termasuk dolar AS) dan masuk ke instrumen berisiko. Pasar keuangan Benua Kuning pun diuntungkan karena menerima aliran dana yang keluar dari Negeri Paman Sam.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular