Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Faktor global sepertinya lebih dominan, karena sentimen domestik justru kurang suportif.
Pada Kamis (1/11/2018) pukul 12:08 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 15.175. Rupiah menguat 0,16% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,13%. Selepas itu apresiasi rupiah sempat menyusut hingga menyentuh 0,03%.
Masih menguat meski semakin tipis. Namun jelang tengah hari, rupiah justru semakin perkasa. Penguatan rupiah semakin tajam dan bahkan melampaui level kala pembukaan.
Rupiah tidak sendiri, karena mata uang utama Asia juga menguat di hadapan dolar AS. seperti rupiah, penguatan mata uang Benua Kuning pun semakin tajam.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:12 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Rupiah dkk di Asia berhasil memanfaatkan situasi dolar AS yang sedang mengalami tekanan. Pada pukul 12:14 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,27%.
Arus modal memang sedang tidak berpihak kepada Negeri Paman Sam seiring pulihnya risk appetite pelaku pasar. Berbagai perkembangan positif membuat investor berani mengambil risiko dan masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dari AS, Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengungkapkan ada peluang Washington-Beijing akan berdamai dan mengakhiri friksi dagang yang memanas sejak awal tahun. Bahkan bisa saja bea masuk yang sudah diterapkan bakal dicabut.
"Tidak ada yang ditulis di atas batu. Jika ada kesepakatan dengan China, maka bisa saja berbagai bea masuk akan dihapuskan," ungkapnya kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Rencananya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan berdialog di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. "Kami mungkin akan melakukan dialog yang sangat bagus dengan Presiden Xi," ujar Kudlow.
Ketegangan perang dagang pun sedikit mereda, dan investor mulai keluar dari sarangnya. Pelaku pasar berani mengambil risiko dan masuk ke aset-aset di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia.
Aura positif juga datang dari Eropa. Inggris dan Uni Eropa dikabarkan mencapai kesepakatan sementara terkait nasib lembaga keuangan selepas Brexit.
The Times melaporkan, Perdana Menteri Inggris Theresa May sudah sepakat dengan Uni Eropa bahwa lembaga keuangan Negeri Ratu Elizabeth tetap bisa mengakses pasar Eropa Kontinental meski nanti Inggris tidak lagi menjadi bagian Uni Eropa. Lembaga keuangan Inggris tetap bisa memberikan pelayanan hingga pertukaran data.
Selain dari Inggris, kabar positif lainnya adalah rilis data inflasi Zona Euro periode Oktober yang sebesar 2,2% year-on-year (YoY). Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,1%.
Inflasi Benua Biru yang mulai merangkak naik dengan stabil akan memantapkan sikap Bank Sentral Uni Eropa (ECB) untuk melakukan pengetatan moneter. Dimulai dengan mengakhiri stimulus moneter pada Desember 2018, dan menaikkan suku bunga acuan pada musim panas (tengah tahun) 2019.
Sentimen-sentimen positif ini membuat investor meninggalkan aset-aset aman (termasuk dolar AS) dan masuk ke instrumen berisiko. Rupiah dkk di Asia pun diuntungkan karena menerima aliran dana yang keluar dari Negeri Paman Sam.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Faktor eksternal itu berhasil menopang penguatan rupiah, karena di dalam negeri yang ada malah agak membebani. Hari ini, Badan Pusar Statistik (BPS) merilis data inflasi Oktober 2018 yang di atas ekspektasi pasar.
Inflasi Oktober secara bulanan (month-to-month/MtM) tercatat 0,28%. Sementara inflasi YoY adalah 3,16% dan inflasi inti YoY adalah 2,94%.
Angka-angka ini di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi MtM sebesar 0,17%, kemudian inflasi YoY 3,04%, dan inflasi inti YoY 2,86%.
Hal yang menjadi sentimen negatif adalah inflasi inti, yang mencapai titik tertinggi sepanjang 2018. Bahkan lajunya cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya.
Kemungkinan besar depresiasi rupiah yang signifikan sepanjang tahun ini sudah merasuk dan dirasakan oleh sektor riil. Inflasi inti adalah komponen yang persisten, dipengaruhi oleh fundamental ekonomi termasuk pergerakan kurs.
Sejak awal tahun, rupiah melemah sekitar 12% terhadap dolar AS. Akibatnya, dunia usaha butuh dana yang lebih besar untuk melakukan impor. Kenaikan biaya itu kemudian ditransmisikan ke harga jual sehingga terjadi inflasi juga di tingkat konsumen.
Data inflasi hari ini mengonfirmasi rilis data sebelumnya yaitu Nikkei/IHS Markit Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia periode Oktober 2018 yang tercatat 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,7. Pencapaian Oktober merupakan yang paling rendah dalam 3 bulan.
Penurunan angka PMI Indonesia terjadi dalam 2 bulan beruntun. Angkanya memang masih di atas 50, menunjukkan pelaku usaha masih optimis dan ekspansif. Namun kadarnya terus berkurang.
Masalah yang menghantui pelaku usaha, menurut survei ini, adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Akibat depresiasi kurs, biaya importasi menjadi semakin mahal. Sementara ekonomi yang tumbuh membutuhkan pasokan barang impor, utamanya bahan baku dan barang modal.
"Kekhawatiran utama adalah inflasi yang semakin intensif. Inflasi biaya input dan output mengalami percepatan hingga posisi tertinggi dalam 3 tahun, didorong oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar berarti para pelaku manufaktur terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar pada bulan-bulan mendatang akibat kenaikan biaya untuk barang-barang impor," jelas Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, mengutip keterangan tertulis.
Sejatinya data inflasi bisa menjadi pemberat rupiah. Namun untungnya tarikan faktor eksternal lebih kuat sehingga rupiah masih bisa menguat, bahkan lumayan bagus di antara mata uang Asia lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA