Waspada, Sentimen Negatif Gerus Penguatan Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 November 2018 09:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah memang masih menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Namun penguatannya semakin tipis.
Pada Kamis (1/11/2018) pukul 09:24 WIB, US$ diperdagangkan di Rp 15.195. Rupiah masih menguat, tetapi hanya 0,03%.
Kala pembukaan pasar spot, penguatan rupiah adalah 0,13%. Selepas itu, apresiasi rupiah terus menipis.
Sentimen domestik sepertinya menjadi beban buat rupiah. Pagi tadi, Nikkei/IHS Markit mengumumkan angka Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia periode Oktober.
Angka PMI Indonesia pada Oktober tercatat 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,7. Pencapaian Oktober merupakan yang paling rendah dalam 3 bulan.
Penurunan angka PMI Indonesia terjadi dalam 2 bulan beruntun. Angkanya memang masih di atas 50, menunjukkan pelaku usaha masih optimis dan ekspansif. Namun kadarnya terus berkurang.
Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, menilai Indonesia sedikit kehilangan momentum pada awal kuartal IV-2018. Permintaan baru (new order) turun untuk kali pertama sejak Januari, dibarengi dengan penurunan permintaan untuk ekspor.
"Kekhawatiran utama adalah inflasi yang semakin intensif. Inflasi biaya input dan output mengalami percepatan hingga posisi tertinggi dalam 3 tahun, didorong oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar berarti para pelaku manufaktur terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar pada bulan-bulan mendatang akibat kenaikan biaya untuk barang-barang impor," jelas Aw, mengutip keterangan tertulis Nikkei/Markit.
Selain itu, kemarin Bank Dunia juga membawa kabar kurang sedap. Bank Dunia menempatkan Indonesia di rangking 73 dalam laporan Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB), turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebenarnya poin Indonesia bertambah dari 66,54 menjadi 67,96. Namun sayang, negara-negara lain mampu menaikkan poin lebih tinggi dari Indonesia. Bahkan posisi Indonesia cukup jauh di bawah negara-negara Afrika seperti Rwanda (29) dan Kenya (61).
Rilis ini bisa menjadi sentimen negatif bagi pelaku ekonomi. Indonesia bisa dipandang sebagai negara yang kurang ramah terhadap investasi. Bahkan hal ini sedikit banyak sudah terlihat dari penanaman modal asing di sektor riil (Foreign Direct Investment/FDI) yang terkontraksi atau minus 20,2% pada kuartal III-2018.
Sepertinya upaya reformasi struktural dengan puluhan Paket Kebijakan Ekonomi belum menampakkan hasil yang signifikan. Pemerintah harus berpikir lebih keras dan bertindak lebih cepat untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak, maka peringkat EoDB Indonesia bisa semakin turun sehingga investor enggan menanamkan modal. Pertumbuhan ekonomi menjadi taruhannya.
Pada Kamis (1/11/2018) pukul 09:24 WIB, US$ diperdagangkan di Rp 15.195. Rupiah masih menguat, tetapi hanya 0,03%.
Kala pembukaan pasar spot, penguatan rupiah adalah 0,13%. Selepas itu, apresiasi rupiah terus menipis.
Angka PMI Indonesia pada Oktober tercatat 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,7. Pencapaian Oktober merupakan yang paling rendah dalam 3 bulan.
Penurunan angka PMI Indonesia terjadi dalam 2 bulan beruntun. Angkanya memang masih di atas 50, menunjukkan pelaku usaha masih optimis dan ekspansif. Namun kadarnya terus berkurang.
Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, menilai Indonesia sedikit kehilangan momentum pada awal kuartal IV-2018. Permintaan baru (new order) turun untuk kali pertama sejak Januari, dibarengi dengan penurunan permintaan untuk ekspor.
"Kekhawatiran utama adalah inflasi yang semakin intensif. Inflasi biaya input dan output mengalami percepatan hingga posisi tertinggi dalam 3 tahun, didorong oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar berarti para pelaku manufaktur terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar pada bulan-bulan mendatang akibat kenaikan biaya untuk barang-barang impor," jelas Aw, mengutip keterangan tertulis Nikkei/Markit.
Selain itu, kemarin Bank Dunia juga membawa kabar kurang sedap. Bank Dunia menempatkan Indonesia di rangking 73 dalam laporan Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB), turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebenarnya poin Indonesia bertambah dari 66,54 menjadi 67,96. Namun sayang, negara-negara lain mampu menaikkan poin lebih tinggi dari Indonesia. Bahkan posisi Indonesia cukup jauh di bawah negara-negara Afrika seperti Rwanda (29) dan Kenya (61).
Rilis ini bisa menjadi sentimen negatif bagi pelaku ekonomi. Indonesia bisa dipandang sebagai negara yang kurang ramah terhadap investasi. Bahkan hal ini sedikit banyak sudah terlihat dari penanaman modal asing di sektor riil (Foreign Direct Investment/FDI) yang terkontraksi atau minus 20,2% pada kuartal III-2018.
Sepertinya upaya reformasi struktural dengan puluhan Paket Kebijakan Ekonomi belum menampakkan hasil yang signifikan. Pemerintah harus berpikir lebih keras dan bertindak lebih cepat untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak, maka peringkat EoDB Indonesia bisa semakin turun sehingga investor enggan menanamkan modal. Pertumbuhan ekonomi menjadi taruhannya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Untung Dolar AS Juga Tertekan
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular