Tarikan Eksternal Lebih Kuat, Rupiah Masih Bisa Selamat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 November 2018 12:42

Faktor eksternal itu berhasil menopang penguatan rupiah, karena di dalam negeri yang ada malah agak membebani. Hari ini, Badan Pusar Statistik (BPS) merilis data inflasi Oktober 2018 yang di atas ekspektasi pasar.
Inflasi Oktober secara bulanan (month-to-month/MtM) tercatat 0,28%. Sementara inflasi YoY adalah 3,16% dan inflasi inti YoY adalah 2,94%.
Angka-angka ini di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi MtM sebesar 0,17%, kemudian inflasi YoY 3,04%, dan inflasi inti YoY 2,86%.
Hal yang menjadi sentimen negatif adalah inflasi inti, yang mencapai titik tertinggi sepanjang 2018. Bahkan lajunya cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya.
Kemungkinan besar depresiasi rupiah yang signifikan sepanjang tahun ini sudah merasuk dan dirasakan oleh sektor riil. Inflasi inti adalah komponen yang persisten, dipengaruhi oleh fundamental ekonomi termasuk pergerakan kurs.
Sejak awal tahun, rupiah melemah sekitar 12% terhadap dolar AS. Akibatnya, dunia usaha butuh dana yang lebih besar untuk melakukan impor. Kenaikan biaya itu kemudian ditransmisikan ke harga jual sehingga terjadi inflasi juga di tingkat konsumen.
Data inflasi hari ini mengonfirmasi rilis data sebelumnya yaitu Nikkei/IHS Markit Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia periode Oktober 2018 yang tercatat 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,7. Pencapaian Oktober merupakan yang paling rendah dalam 3 bulan.
Penurunan angka PMI Indonesia terjadi dalam 2 bulan beruntun. Angkanya memang masih di atas 50, menunjukkan pelaku usaha masih optimis dan ekspansif. Namun kadarnya terus berkurang.
Masalah yang menghantui pelaku usaha, menurut survei ini, adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Akibat depresiasi kurs, biaya importasi menjadi semakin mahal. Sementara ekonomi yang tumbuh membutuhkan pasokan barang impor, utamanya bahan baku dan barang modal.
"Kekhawatiran utama adalah inflasi yang semakin intensif. Inflasi biaya input dan output mengalami percepatan hingga posisi tertinggi dalam 3 tahun, didorong oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar berarti para pelaku manufaktur terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar pada bulan-bulan mendatang akibat kenaikan biaya untuk barang-barang impor," jelas Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, mengutip keterangan tertulis.
Sejatinya data inflasi bisa menjadi pemberat rupiah. Namun untungnya tarikan faktor eksternal lebih kuat sehingga rupiah masih bisa menguat, bahkan lumayan bagus di antara mata uang Asia lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Inflasi Oktober secara bulanan (month-to-month/MtM) tercatat 0,28%. Sementara inflasi YoY adalah 3,16% dan inflasi inti YoY adalah 2,94%.
Angka-angka ini di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi MtM sebesar 0,17%, kemudian inflasi YoY 3,04%, dan inflasi inti YoY 2,86%.
Kemungkinan besar depresiasi rupiah yang signifikan sepanjang tahun ini sudah merasuk dan dirasakan oleh sektor riil. Inflasi inti adalah komponen yang persisten, dipengaruhi oleh fundamental ekonomi termasuk pergerakan kurs.
Sejak awal tahun, rupiah melemah sekitar 12% terhadap dolar AS. Akibatnya, dunia usaha butuh dana yang lebih besar untuk melakukan impor. Kenaikan biaya itu kemudian ditransmisikan ke harga jual sehingga terjadi inflasi juga di tingkat konsumen.
Data inflasi hari ini mengonfirmasi rilis data sebelumnya yaitu Nikkei/IHS Markit Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia periode Oktober 2018 yang tercatat 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,7. Pencapaian Oktober merupakan yang paling rendah dalam 3 bulan.
Penurunan angka PMI Indonesia terjadi dalam 2 bulan beruntun. Angkanya memang masih di atas 50, menunjukkan pelaku usaha masih optimis dan ekspansif. Namun kadarnya terus berkurang.
Masalah yang menghantui pelaku usaha, menurut survei ini, adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Akibat depresiasi kurs, biaya importasi menjadi semakin mahal. Sementara ekonomi yang tumbuh membutuhkan pasokan barang impor, utamanya bahan baku dan barang modal.
"Kekhawatiran utama adalah inflasi yang semakin intensif. Inflasi biaya input dan output mengalami percepatan hingga posisi tertinggi dalam 3 tahun, didorong oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar berarti para pelaku manufaktur terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar pada bulan-bulan mendatang akibat kenaikan biaya untuk barang-barang impor," jelas Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, mengutip keterangan tertulis.
Sejatinya data inflasi bisa menjadi pemberat rupiah. Namun untungnya tarikan faktor eksternal lebih kuat sehingga rupiah masih bisa menguat, bahkan lumayan bagus di antara mata uang Asia lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular