
Hati-Hati, Pelemahan Rupiah Mulai Rasuki Sektor Riil!
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 November 2018 12:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks harga konsumen Oktober 2018. Selama bulan tersebut, terjadi inflasi sebesar 0,28% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara secara tahunan (year-on-year/YoY), terjadi inflasi sebesar 3,16%.
Inflasi tersebut di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi MtM sebesar 0,17%, kemudian inflasi YoY 3,04%.
Tidak hanya inflasi umum (headline) yang melambung, inflasi inti juga tercatat menanjak sebesar 2,94% YoY di bulan lalu. Capaian itu juga melampaui konsensus CNBC Indonesia yang meramalkan inflasi inti sebesar 2,86% YoY di Oktober.
Bahkan, apabila dilihat secara historis, inflasi inti bulan lalu merupakan yang tertinggi dalam 10 bulan terakhir, atau sejak bulan Desember 2017.
Inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.
Oleh karena itu, melambungnya inflasi inti salah satunya bisa dipandang dari pelemahan nilai tukar rupiah yang mulai merasuki sektor riil. Harga-harga kebutuhan masyarakat kini mulai menanjak naik akibat melambungnya biaya impor produsen.
Sebagai informasi, di sepanjang tahun berjalan (hingga akhir bulan Oktober 2018), nilai tukar rupiah memang sudah terdepresiasi sebesar 12,05% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Rupiah bahkan sempat menyentuh angka Rp 15.230/US$ pada awal Oktober lalu, nyaris menyentuh level terlemah sepanjang sejarah (Rp 15.250/US$ saat krisis 1997-1998).
Apabila dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, pelemahan rupiah menjadi salah satu yang terparah. Paling hanya rupee India yang terdepresiasi lebih parah dibandingkan mata uang tanah air.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh produsen Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini.
Pada bulan Agustus 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0, 44% secara MtM, atau 11% lebih secara YoY. Kenaikan tahunan tersebut jauh lebih cepat dibandingkan inflasi umum.
Pada akhirnya, naiknya biaya produksi di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di level konsumen. Hal ini yang akhirnya mengerek inflasi inti pada bulan lalu.
Merasuknya pelemahan rupiah ke sektor riil juga diamini oleh IHS Markit dalam rilis indeks PMI Manufaktur Indonesia bulan Oktober pagi ini. Sebagai catatan, indeks ini jatuh ke level 50,5 di bulan lalu, dari bulan September sebesar 50,7. Capaian itu merupakan yang terendah dalam 3 bulan terakhir.
Nilai di atas 50 memang masih menunjukkan aktivitas industri pengolahan yang mengalami ekspansi, namun momentumnya mulai melambat. Perlambatan itu diakibatkan peningkatan harga input dan output industri ke level 3 tahun tertinggi, menyusul lemahnya rupiah.
"Sektor industri pengolahan Indonesia kehilangan momentum lebih jauh pada awal kurtal IV (2018), merefleksikan sinyal kondisi permintaan yang melunak," kata Bernard Aw, ekonom IHS Markit, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review.
"Nilai tukar (rupiah) yang relatif lemah berarti industri pengolahan dapat terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar dalam beberapa bulan ke depan, akibat meningkatnya harga untuk mengimpor barang," tambah Bernard Aw.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/wed) Next Article Kali Pertama Sejak 40 Bulan, Inflasi Malaysia di Bawah 1%
Inflasi tersebut di atas ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi MtM sebesar 0,17%, kemudian inflasi YoY 3,04%.
Tidak hanya inflasi umum (headline) yang melambung, inflasi inti juga tercatat menanjak sebesar 2,94% YoY di bulan lalu. Capaian itu juga melampaui konsensus CNBC Indonesia yang meramalkan inflasi inti sebesar 2,86% YoY di Oktober.
Inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.
Oleh karena itu, melambungnya inflasi inti salah satunya bisa dipandang dari pelemahan nilai tukar rupiah yang mulai merasuki sektor riil. Harga-harga kebutuhan masyarakat kini mulai menanjak naik akibat melambungnya biaya impor produsen.
Sebagai informasi, di sepanjang tahun berjalan (hingga akhir bulan Oktober 2018), nilai tukar rupiah memang sudah terdepresiasi sebesar 12,05% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Rupiah bahkan sempat menyentuh angka Rp 15.230/US$ pada awal Oktober lalu, nyaris menyentuh level terlemah sepanjang sejarah (Rp 15.250/US$ saat krisis 1997-1998).
Apabila dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, pelemahan rupiah menjadi salah satu yang terparah. Paling hanya rupee India yang terdepresiasi lebih parah dibandingkan mata uang tanah air.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh produsen Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini.
Pada bulan Agustus 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0, 44% secara MtM, atau 11% lebih secara YoY. Kenaikan tahunan tersebut jauh lebih cepat dibandingkan inflasi umum.
Pada akhirnya, naiknya biaya produksi di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di level konsumen. Hal ini yang akhirnya mengerek inflasi inti pada bulan lalu.
Merasuknya pelemahan rupiah ke sektor riil juga diamini oleh IHS Markit dalam rilis indeks PMI Manufaktur Indonesia bulan Oktober pagi ini. Sebagai catatan, indeks ini jatuh ke level 50,5 di bulan lalu, dari bulan September sebesar 50,7. Capaian itu merupakan yang terendah dalam 3 bulan terakhir.
Nilai di atas 50 memang masih menunjukkan aktivitas industri pengolahan yang mengalami ekspansi, namun momentumnya mulai melambat. Perlambatan itu diakibatkan peningkatan harga input dan output industri ke level 3 tahun tertinggi, menyusul lemahnya rupiah.
"Sektor industri pengolahan Indonesia kehilangan momentum lebih jauh pada awal kurtal IV (2018), merefleksikan sinyal kondisi permintaan yang melunak," kata Bernard Aw, ekonom IHS Markit, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review.
"Nilai tukar (rupiah) yang relatif lemah berarti industri pengolahan dapat terus menghadapi tekanan biaya yang lebih besar dalam beberapa bulan ke depan, akibat meningkatnya harga untuk mengimpor barang," tambah Bernard Aw.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/wed) Next Article Kali Pertama Sejak 40 Bulan, Inflasi Malaysia di Bawah 1%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular