Sempat Menguat 0,51%, IHSG Akhiri Sesi I Parkir di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 October 2018 12:36
IHSG ditutup melemah 0,25% pada akhir sesi 1 ke level 5.770,33.
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat menguat hingga 0,51% ke level 5.814,68, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) malah ditutup melemah 0,25% pada akhir sesi 1 ke level 5.770,33.

Namun, IHSG tak sendirian. Bursa saham utama kawasan Asia juga berakhir di zona merah pasca menguat pada awal perdagangan hari ini: indeks Shanghai anjlok 1,47%, indeks Hang Seng turun 0,07%, dan indeks Kospi melemah 0,06%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 2,42 triliun dengan volume sebanyak 4,2 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 156.089 kali.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-1,38%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-3,29%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,83%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,62%), dan PT Adaro Energy Tbk/ADRO (-2,61%).

Sentimen negatif yang datang dari anjloknya Wall Street pada hari Jumat (26/10/2018) sudah mulai berhasil ditransmisikan ke Benua Kuning. Kala itu, Dow Jones anjlok 1,19%, S&P 500 anjlok 1,73%, dan Nasdaq anjlok 2,06%. Wall Street tak berkutik menghadapi koreksi yang dalam pada saham Amazon (-7,82%) dan Alphabet (-1,8%). Kedua saham tersebut dilepas investor lantaran kinerja keuangan kuartal-III 2018 yang mengecewakan.

Earnings per share (EPS) dari Amazon diumumkan sebesar US$ 5,75, mengalahkan estimasi Refinitiv yang sebesar US$ 3,14 saja. Namun, penjualan tercatat hanya sebesar US$ 56,6 miliar, di bawah estimasi yang sebesar US$ 57,1 miliar.

Sementara itu, EPS Alphabet tercatat sebesar US$ 13,06, juga mengalahkan estimasi yang sebesar US$ 10,42. Namun, penjualan tercatat hanya sebesar US$ 33,7 miliar, di bawah estimasi yang sebesar US$ 34,04 miliar.

Risiko lain bagi perdagangan hari ini datang dari masih kuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve pada bulan Desember. Hal ini dipicu oleh rilis angka pertumbuhan ekonomi AS. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Negeri Paman Sam diumumkan tumbuh sebesar 3,5% (QoQ annualized), mengalahkan ekspektasi yang sebesar 3,4%.

Di sisi lain, perang dagang dengan China yang digadang-gadang akan memukul ekonomi AS nampaknya belum akan selesai dalam waktu dekat.

Belum lama ini, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengonfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping pada bulan depan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Buenos Aires, Argentina.

Namun, sejauh ini pelaku pasar bersikap skeptis menghadapi kabar tersebut mengingat beberapa pertemuan antara delegasi AS dan China yang sebelumnya sudah diselenggarakan tak mampu menyelesaikan perang dagang yang tengah berkecamuk.

Ketika the Fed mengerek suku bunga acuan, maka suku bunga kredit akan ikut terkerek naik, sementara imbal hasil (yield) obligasi kemungkinan besar mengikuti. Apalagi, the Fed memproyeksikan akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan.

Kala suku bunga kredit dan yield obligasi terkerek naik, maka biaya bagi korporasi di AS untuk melakukan kegiatannya akan meningkat. Padahal, permintaan baik di dalam maupun luar negeri berpotensi terpangkas akibat perang dagang dengan China. Pada akhirnya, profitabilitas perusahaan bisa tertekan dan memukul mundur Wall Street. Hal ini tentu menjadi risiko bagi bursa saham kawasan Asia.

Persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve pada bulan Desember yang masih cukup kuat juga membuat rupiah melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 15.225/dolar AS.

Selain karena faktor eksternal, faktor dalam negeri yakni defisit neraca berjalan/current account deficit (CAD) juga ikut membebani rupiah. Pada hari Jumat, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengindikasikan bahwa CAD kuartal-III 2018 akan membengkak cukup signifikan dari capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 3,04% dari PDB.

"Kan masih ada Juli sama Agustus 2018. Yang memang masih tinggi. Utamanya di Migas. Kemarin defisit besar di migas. Apakah B20, kenaikan harga BBM. Di Kuartal III-2018 masih wajar kalau di atas 3%. Tapi perkiraan kami di Kuartal III-2018 tidak akan lebih dari 3,5%," papar Perry di Gedung BI, Jumat (26/10/2018).

Seperti yang sudah disebutkan di atas, TLKM menjadi salah satu saham yang membebani langkah IHSG. Aksi jual atas saham perusahaan dipicu oleh rilis kinerja keuangan yang mengecewakan. Sepanjang kuartal-III 2018, perusahaan membukukan pendapatan senilai Rp 34,8 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai Rp 33,8 triliun. Namun, laba bersih tercatat hanya sebesar Rp 5,53 triliun, di bawah ekspektasi analis yang sebesar Rp 5,79 triliun.

Aksi jual atas saham TLKM gencar dilakukan oleh investor asing. Hingga akhir sesi 1, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 23 miliar atas saham TLKM, terbesar dibandingkan jual bersih pada saham-saham lainnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Tertular Wall Street, IHSG Akhiri Sesi 1 dengan Ambruk 1,3%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular