Meski Melemah 0,9%, IHSG Terbaik Kedua di Asia Pekan Ini

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 October 2018 10:59
Meski Melemah 0,9%, IHSG Terbaik Kedua di Asia Pekan Ini
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC IndonesiaIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak melemah sepanjang pekan ini. Situasi ekonomi global yang kurang kondusif masih mengahantui benak investor. Untungnya, sentimen domestik masih menyelamatkan IHSG supaya tidak jatuh terlalu dalam.

Sepanjang pekan ini, IHSG terkoreksi 0,9% secara point-to-point. Meski anjlok cukup dalam sejak awal pekan (hingga terlempar dari level psikologis 5.800), IHSG mampu berbalik menguat dalam dua hari terakhir. Pelemahan bursa saham tanah air pun menipis, meski masih finis di bawah level 5.800, yakni 5.784,92.



Sejatinya, bursa saham Asia pun berguguran di sepanjang pekan ini. Hampir semuanya jatuh lebih dalam dibandingkan IHSG. Indeks Strait Times terkoreksi 2,95%, KLCI (Malaysia) turun 2,83%, SET (Thailand) melemah 2,34%, Hang Seng minus 3,3%, Nikkei anjlok 5,98%, dan Kospi amblas 5,99%.

Praktis hanya indeks Shanghai yang mampu mencatatkan kenaikan sebesar 1,9%. Alhasil, IHSG pun menjadi yang terkuat kedua di Benua Kuning pada pekan ini, berada satu tingkat di bawah indeks Shanghai.



(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA)


Pekan ini, investor dipaksa bermain aman dengan melepas instrumen berisiko seiring dengan sentimen negatif yang berpotensi mempengaruhi stabilitas perekonomian dunia. Akhirnya, investor pun ramai-ramai mengalihkan asetnya ke instrument safe haven seperti dolar Amerika Serikat (AS) dan yen Jepang.

Sebagai buktinya, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) menguat 0,67% dalam sepekan ini. Jepang Yen pun mampu mencetak penguatan sebesar 0,58% di periode yang sama.



Lantas, apa aja sentimen negatif tersebut?

Pertama, jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom menyatakan aura pesimisme kini semakin nyata. 

Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi. Kondisi ini cukup jauh dibandingkan survei serupa pada awal tahun di mana 70% negara yang disurvei diperkirakan mengalami perbaikan ekonomi.

Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia adalah perang dagang AS vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.

Kedua, potensi ribut-ribut antar AS dengan sekutunya Arab Saudi terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.

Pada hari Selasa (23/10/2018), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan keras mengenai masalah ini. Erdogan menyebut bahwa intel dan lembaga penegak hukum memiliki bukti bahwa pembunuhan Khashoggi merupakan sesuatu yang terencana.

Presiden AS Donald Trump pun sepertinya semakin menunjukkan kekecewaan dan kemarahan kepada Arab Saudi. Setelah pidato Erdogan, Trump menyatakan bahwa Arab Saudi mencoba menutupi kasus Khasshogi dengan buruk.

"Konsep awalnya sangat jelek, pelaksanaannya buruk, dan cara menutupinya juga salah satu yang paling payah sepanjang sejarah," tegas Trump kepada para jurnalis di Oval Office, dikutip dari Reuters.

Perkembangan teranyar, jaksa penuntut umum Arab Saudi bahkan sudah menyatakan pembunuhan Khashoggi telah direncanakan. Dalam laporan TV al-Ekhbariya, jaksa penuntut kini tengah menginterogasi para tersangka atas dasar informasi yang diberikan oleh pasukan gabungan Saudi-Turki.

Pernyataan itu bertolak belakang dari pengumuman Saudi sebelumnya bahwa kematian sang jurnalis tidaklah disengaja. Khasoggi ditanyakan tewas setelah terlibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15 orang.

Memang sejauh ini belum ada sanksi nyata bagi Saudi, namun apabila Negeri Padang Pasir terbukti terlibat, atau bahkan sengaja menyembunyikan fakta di balik kematian Khashoggi, bukan tidak mungkin AS dan negara-negara barat akhitnya menjatuhkan hukuman bagi Riyadh.

Ketiga, perkembangan perang dagang AS vs China yang tidak kondusif juga turut membuat investor was-was. Zhang Qingli, anggota utama dari komite pemerintah China yang bertugas untuk menjalin kerjasama dengan negara lain, memberitahu sejumlah investor asal AS bahwa Beijing tidak takut berperang dagang dengan Washington.

"China tidak pernah mau berperang dagang dengan siapa pun, termasuk AS yang merupakan mitra strategis dalam jangka panjang. Namun kami juga tidak takut dengan perang semacam itu," ujar Zhang pada pertemuan investor di Beijing, seperti dikutip dari CNBC International.

Keempat, Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk menolak rancangan anggaran negara Italia tahun fiskal 2019. Brussel menilai defisit anggaran yang mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu besar.

Namun Italia sepertinya malah menjadi semakin keras. Teranyar, dalam sebuah wawancara radio RTL 102,5, Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini berkeras menggunakan anggaran ekspansif, yang meningkatkan defisit tahun depan menjadi 2,4% dari PDB (dari target semula 1,8%), adalah satu-satunya cara untuk menurunkan utang publik.

Pemerintah Italia memang memiliki utang yang sangat besar, mencapai 131,2% PDB pada 2017, tetapi cara untuk mengatasi masalah itu bukan dengan berhemat melainkan meningkatkan PDB. Caranya adalah memberikan bantuan kepada rakyat akan bisa meningkatkan konsumsi yang membuat dunia usaha bergeliat, ekonomi berputar, dan pada akhirnya PDB akan tumbuh lebih cepat sehingga rasionya terhadap utang pun mengecil.

Perkembangan ini lagi-lagi menciptakan ketidakpastian di pasar. Sebab, investor tentu tidak mau Italia kembali terjebak dalam krisis fiskal seperti pada 2009-2010. Apa yang dilakukan pemerintah Italia saat ini membuat memori investor kembali ke masa-masa gelap itu.

Kelima, anloknya Wall Street. Pada penutupan perdagangan hari Rabu (24/10/2018), Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,41%, S&P 500 ambrol 3,09%, dan Nasdaq Composite meluncur 4,43%.

Ketakutan atas perlambatan perekonomian Negeri Adidaya sukses menggerogoti Wall Street kala itu. Sinyal pertama datang dari rilis angka penjualan rumah baru periode September yang sejumlah 553.000 unit, jauh di bawah konsensus yang sebesar 627.000 unit. Angka ini merupakan yang terendah dalam 2 tahun terakhir.

Kemudian, sinyal perlambatan ekonomi AS juga datang dari publikasi Beige Book oleh The Federal Reserve/The Fed yang menyebut bahwa dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga. 

Keenam, rilis data ekonomi Korea Selatan dan Hong Kong yang mengecewakan. Sepanjang kuartal-III 2018, perekonomian Korea Selatan tumbuh 2% secara tahunan (year-on-year/YoY), di bawah konsensus yang sebesar 2,2% YoY.

Kemudian, ekspor Hong Kong periode September naik 4,5% YoY, jauh melambat dibandingkan capaian bulan sebelumnya yaitu 13,1% YoY. Sementara impor tumbuh 4,8% YoY, juga di bawah capaian Agustus yang sebesar 16,4% YoY.

Kombinasi keenam sentimen di atas lantas sukses menyeret bursa saham Benua Kuning secara berjamaah, tak terkecuali IHSG. Hanya bursa saham Shanghai yang masih bertahan di zona hijau, seiring ada sentimen positif dari dalam negeri, yakni rencana pemotongan pajak pada tahun depan. Nilai pemotongan tarif pajak ini diperkirakan mencapai 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China. 

(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA) Dari dalam negeri, penguatan IHSG di penghujung pekan ditopang oleh rilis kinerja keuangan emiten yang moncer.

Sepanjang kuartal-III 2018, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membukukan net interest income/NII sebesar Rp 11,58 triliun, lebih besar dari konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv sebesar Rp 11,37 triliun. Sementara itu, laba bersih tercatat sebesar Rp 7,09 triliun, juga mengalahkan estimasi analis yang sebesar Rp 6,71 triliun.

Kemudian, PT H M Sampoerna Tbk (HMSP) membukukan penjualan bersih senilai Rp 77,5 triliun sepanjang 9 bulan pertama tahun ini atau tumbuh 7,25% dibandingkan capaian 9 bulan pertama tahun 2017 yang senilai Rp 72,3 triliun. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang periode 9 bulan pertama tahun 2017 kala penjualan bersih hanya naik tipis 2,87% YoY.

Laba bersih perusahaan tercatat senilai Rp 9,69 triliun, naik 3,77% YoY dari yang sebelumnya Rp 9,33 triliun. Capaian ini juga lebih baik ketimbang periode 9 bulan pertama tahun 2017 kala laba bersih hanya naik sebesar 2,83% YoY.

Sayangnya, tidak semua sentimen domestik bersifat positif. Pasar nampaknya merespon negatif keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dengan ditahannya suku bunga acuan, praktis tak ada sentimen dari dalam negeri yang bisa membawa rupiah menguat.

Terlebih, tekanan bagi rupiah datang dari potensi membengkaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia. Kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengindikasikan bahwa CAD kuartal-III 2018 akan membengkak cukup signifikan dari capaian kuartal-II 2018 yang sebesar 3,04% dari PDB.

"Kan masih ada Juli sama Agustus 2018. Yang memang masih tinggi. Utamanya di Migas. Kemarin defisit besar di migas. Apakah B20, kenaikan harga BBM. Di Kuartal III-2018 masih wajar kalau di atas 3%. Tapi perkiraan kami di Kuartal III-2018 tidak akan lebih dari 3,5%," papar Perry di Gedung BI, Jumat (26/10/2018).

Benar saja rupiah jadi tidak punya tenaga untuk menguat di pekan ini. Dalam seminggu terakhir, rupiah terdepresiasi 0,2% terhadap dolar AS di pasar spot. Pelemahan rupiah akhirnya membatasi pergerakan IHSG dalam sepekan terakhir.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular