
Wajar Jokowi Resah, Faktanya Ekonomi RI Memang Bermasalah
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 October 2018 09:44

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.
Sayang, sejak tahun 2011, Indonesia tidak pernah menikmati surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Pada tahun inipun kondisi itu semakin akut.
Dari sisi perdagangan barang, defisit perdagangan barang sudah mencapai US$ 3,81 miliar di periode Januari-September 2018 ini. Padahal, di periode yang sama tahun lalu masih surplus sekitar US$11 miliar.
Apabila ditelusuri, hal itu disebabkan oleh nilai ekspor RI yang hanya tumbuh di kisaran 9,5% saja secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor tumbuh nyaris 25% YoY. Saat impor makin rajin, namun ekspor cenderung lesu, konsekuensinya defisit perdagangan pun melebar.
Lantas, mengapa bisa begitu? Tidak usah jauh-jauh mencari jawabannya hingga ke negeri China. Kuncinya ada di deindustrialisasi yang sedang dialami oleh Indonesia. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan PDB di Indonesia.
Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.
Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%.
Akibat mengidap penyakit deindustrialisasi, barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.
Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.
Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 13% lebih di sepanjang tahun ini. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia.
Lebih parah harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 30% di tahun ini. Belum lagi melihat komoditas tambang unggulan Indonesia, seperti harga nikel yang terkoreksi 2,03% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), tembaga (-16,22% YTD), aluminium (-11,3% YTD), dan timah (-3,96% YTD).
Paling hanya harga batu bara saja yang masih membukukan kenaikan, itupun tidak banyak-banyak, hanya di kisaran 8,6%.
Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia di kuartal lalu pun cenderung terbatas. Neraca perdagangan barang pun tak tertolong.
(RHG/RHG)
Sayang, sejak tahun 2011, Indonesia tidak pernah menikmati surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Pada tahun inipun kondisi itu semakin akut.
Dari sisi perdagangan barang, defisit perdagangan barang sudah mencapai US$ 3,81 miliar di periode Januari-September 2018 ini. Padahal, di periode yang sama tahun lalu masih surplus sekitar US$11 miliar.
Lantas, mengapa bisa begitu? Tidak usah jauh-jauh mencari jawabannya hingga ke negeri China. Kuncinya ada di deindustrialisasi yang sedang dialami oleh Indonesia. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan PDB di Indonesia.
Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.
Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%.
Akibat mengidap penyakit deindustrialisasi, barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.
Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.
Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 13% lebih di sepanjang tahun ini. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia.
Lebih parah harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 30% di tahun ini. Belum lagi melihat komoditas tambang unggulan Indonesia, seperti harga nikel yang terkoreksi 2,03% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), tembaga (-16,22% YTD), aluminium (-11,3% YTD), dan timah (-3,96% YTD).
Paling hanya harga batu bara saja yang masih membukukan kenaikan, itupun tidak banyak-banyak, hanya di kisaran 8,6%.
Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia di kuartal lalu pun cenderung terbatas. Neraca perdagangan barang pun tak tertolong.
(RHG/RHG)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular