4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Jokowi-JK Keteteran Jaga Pertumbuhan Ekonomi 5%
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 October 2018 09:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekira 4 tahun lalu, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) disumpah sebagai presiden dan wakil presiden. Berbagai harapan disematkan kepada mereka, salah satunya di bidang ekonomi.
Jokowi-JK kemudian menggagas dan memunculkan 9 program aksi utama yang akrab disebut Nawacita yaitu:
Salah satunya adalah target pertumbuhan ekonomi. Pada akhir masa pemerintahan Jokowi-JK, pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan mencapai 8,6%.
Well, ternyata kenyataan tidak seindah perkiraan. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, tidak satu pun target yang ditetapkan Jokowi-JK pernah tercapai. Bukan sekedar tidak tercapai, tapi selisihnya pun lumayan jauh.
Apa yang membuat pertumbuhan ekonomi tidak optimal? Apakah pemerintah menyadari itu dan membuat langkah-langkah perbaikan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sedikit memblejeti komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Misalnya dari sisi pengeluaran.
Untuk konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh PDB, pertumbuhannya stabil di kisaran 4,9-5%. Stabil di sini bisa bermakna positif dan negatif.
Positifnya, konsumsi terjaga dan tidak ada gejolak yang berarti. Artinya harga barang dan jasa relatif stabil, tidak ada lonjakan signifikan. Jika konsumsi stabil, maka kekhawatiran terhadap pelemahan daya beli bisa disimpan di lemari.
Namun negatifnya, konsumsi bisa berarti stagnan. Stagnasi di konsumsi rumah tangga inilah yang kemudian membebani pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan kontribusi lebih dari 50%, apa yang terjadi di konsumsi rumah tangga akan sangat mempengaruhi pembentukan dan laju PDB.
Dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa, sepertinya memang konsumsi Indonesia belum mencapai titik jenuhnya alias masih bisa tumbuh lebih tinggi. Caranya adalah dengan membangun kantong-kantong pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, yang mungkin kalau ini memang sudah agak jenuh.
NEXT
Pemerintahan Jokowi-JK telah berupaya mengembangkan kawasan luar Jawa dengan pembangunan berbagai infrastruktur. Hingga tahun ini, sudah terbangun infrastruktur jalan sepanjang 3.432 km, jalan tol 947 km, jembatan 39,8 km, dan 134 unit jembatan gantung.
Kemudian untuk kereta api, jalur yang sudah terbangun (plus reaktivasi) adalah 754,59 km spoor. Lalu ada pembangunan 10 bandara baru plus revitalisasi dan pengembangan 408 bandara di daerah rawan bencana, terisolasi, dan wilayah perbatasan. Lalu ada pula 19 pelabuhan baru.
Pembangunan infrastruktur ini diharapkan mampu meningkatkan gairah ekonomi di daerah-daerah luar Jawa. Ketika roda ekonomi berputar, maka konsumsi pun meningkat.
Namun pembangunan infrastruktur dan dampaknya tidak bisa terasa dalam jangka pendek. Perlu waktu, sehingga peningkatan konsumsi pun sepertinya juga baru bisa terlihat dalam jangka menengah-panjang.
Lalu kedua adalah dari sisi investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB). Nah, mungkin ini yang bisa menjadi mesin baru bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Laju investasi dalam tren yang meningkat sampai kemudian melambat pada kuartal II-2018.
Pertumbuhan investasi yang impresif dipengaruhi oleh ambisi Jokowi-JK di bidang infrastruktur. Belanja modal pemerintah sendiri tercatat dalam PMTB, sehingga pembangunan infrastruktur yang masif otomatis menumbuhkan kelompok pengeluaran ini.
Dengan ketersediaan infrastruktur yang membaik, pemodal swasta pun menjadi berani untuk menanamkan modal di Indonesia. Akibatnya, PMTB mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi kedua setelah konsumsi rumah tangga.
Namun semua berbalik tahun ini. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cukup dalam membuat pemerintah menunda sebagian impor bahan baku dan barang modal untuk proyek-proyek non-prioritas. Ambisi infrastruktur Jokowi-JK harus mengalah, terbentur karena prioritas bergeser menjadi menyelamatkan rupiah.
Apabila rupiah terus melemah (sepertinya begitu), maka bukan tidak mungkin penundaan importasi untuk keperluan infrastruktur akan berlanjut. Pertumbuhan investasi akan terancam melambat, dan ikut memberatkan laju pertumbuhan ekonomi.
NEXT
Komponen berikutnya adalah ekspor. Pertumbuhan ekspor pada masa pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya cukup mengesankan meski kemudian melambat pada akhir 2017 sampai sekarang.
Meski ekspor tumbuh, tetapi penyebabnya lebih karena kenaikan harga komoditas. Harga minyak sawit mentah (CPO) meroket sejak kuartal I-2015 hingga kuartal IV-2016. Setelah itu harga CPO berangsur turun dan ikut menyeret performa ekspor Indonesia.
Kinerja ekspor boleh saja lumayan bagus, tetapi ada pekerjaan rumah yang sejak lama belum tuntas. Indonesia masih menggantungkan diri kepada ekspor komoditas, bukan produk manufaktur. Indonesia hanya memiliki keunggulan komparatif, bukan kompetitif.
Ini yang membuat pelemahan rupiah belum mampu diterjemahkan menjadi peningkatan kinerja ekspor. Ketergantungan kepada komoditas membuat ekspor Indonesia lebih dipengaruhi oleh harga komoditas internasional dan permintaan dari negara mitra dagang.
Kunci jawaban pekerjaan rumah ini adalah industrialisasi. Ketika industri manufaktur terbangun, maka komoditas tidak perlu diekspor mentah-mentah tetapi diolah sehingga menghasilkan nilai tambah.
Membangun industri memang butuh proses, dan prasyaratnya adalah pembangunan infrastruktur. Bagaimana investor mau membangun pabrik kalau jalan hanya berupa tanah, listrik byar-pet, pelabuhan jauh, dan sebagainya?
Namun dengan rupiah yang melemah, sepertinya pembangunan infrastruktur juga sedikit banyak terhambat. Barang modal dan bahan baku untuk pembangunan industri juga semakin mahal saat rupiah melemah, sehingga menghambat investasi dan ekspansi pemodal swasta.
NEXT
Benang menjadi semakin kusut, mana yang mau diurai terlebih dulu? Mau memaksakan industrialisasi dengan konsekuensi biaya semakin mahal dan defisit transaksi berjalan (current account) membengkak? Atau menyelamatkan rupiah dulu dengan efek samping industrialisasi terlambat? Ah, sulit sekali...
Kesimpulannya adalah, betul bahwa Jokowi-JK bisa dibilang tidak berhasil memenuhi target pertumbuhan ekonomi seperti yang dijanjikan. Alih-alih bisa tumbuh 7-8%, Indonesia malah keteteran menjaga agar pertumbuhan ekonomi tidak sampai jatuh ke bawah 5%.
Mungkin janji dan optimisme yang berlebihan memang kurang bijaksana. Sebab kalau janji itu gagal ditepati, maka konsekuensinya lumayan fatal. Apalagi soal ekonomi yang menyangkut urusan perut ratusan juta rakyat Indonesia.
Pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pun masih banyak yang belum selesai. Misalnya seperti yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu pembangunan industri manufaktur. Bukannya semakin cepat, pertumbuhan industri manufaktur stagnan cenderung melambat dalam 4 tahun ini.
Namun bukan berarti pemerintah tidak melakukan apa-apa. Salah satu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah membangun infrastruktur secara masif. Meski hasilnya tidak akan mungkin dinikmati dalam waktu dekat. Kalau pun Jokowi kembali jadi presiden 2019-2024 (sekali lagi, kalau), mungkin dampaknya juga belum optimal.
Melihat Indonesia saat ini, masih punya pekerjaan rumah besar yang belum selesai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article Infrastruktur Ditunda, Pertumbuhan Ekonomi Jadi Korban
Jokowi-JK kemudian menggagas dan memunculkan 9 program aksi utama yang akrab disebut Nawacita yaitu:
- Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
- Membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya
- Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
- Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
- Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
- Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
- Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
- Melakukan revolusi karakter bangsa.
- Memperteguh ke-bhinneka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Salah satunya adalah target pertumbuhan ekonomi. Pada akhir masa pemerintahan Jokowi-JK, pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan mencapai 8,6%.
Well, ternyata kenyataan tidak seindah perkiraan. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, tidak satu pun target yang ditetapkan Jokowi-JK pernah tercapai. Bukan sekedar tidak tercapai, tapi selisihnya pun lumayan jauh.
Apa yang membuat pertumbuhan ekonomi tidak optimal? Apakah pemerintah menyadari itu dan membuat langkah-langkah perbaikan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita sedikit memblejeti komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Misalnya dari sisi pengeluaran.
Untuk konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari separuh PDB, pertumbuhannya stabil di kisaran 4,9-5%. Stabil di sini bisa bermakna positif dan negatif.
Positifnya, konsumsi terjaga dan tidak ada gejolak yang berarti. Artinya harga barang dan jasa relatif stabil, tidak ada lonjakan signifikan. Jika konsumsi stabil, maka kekhawatiran terhadap pelemahan daya beli bisa disimpan di lemari.
Namun negatifnya, konsumsi bisa berarti stagnan. Stagnasi di konsumsi rumah tangga inilah yang kemudian membebani pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan kontribusi lebih dari 50%, apa yang terjadi di konsumsi rumah tangga akan sangat mempengaruhi pembentukan dan laju PDB.
Dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa, sepertinya memang konsumsi Indonesia belum mencapai titik jenuhnya alias masih bisa tumbuh lebih tinggi. Caranya adalah dengan membangun kantong-kantong pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, yang mungkin kalau ini memang sudah agak jenuh.
NEXT
Kemudian untuk kereta api, jalur yang sudah terbangun (plus reaktivasi) adalah 754,59 km spoor. Lalu ada pembangunan 10 bandara baru plus revitalisasi dan pengembangan 408 bandara di daerah rawan bencana, terisolasi, dan wilayah perbatasan. Lalu ada pula 19 pelabuhan baru.
Pembangunan infrastruktur ini diharapkan mampu meningkatkan gairah ekonomi di daerah-daerah luar Jawa. Ketika roda ekonomi berputar, maka konsumsi pun meningkat.
Namun pembangunan infrastruktur dan dampaknya tidak bisa terasa dalam jangka pendek. Perlu waktu, sehingga peningkatan konsumsi pun sepertinya juga baru bisa terlihat dalam jangka menengah-panjang.
Lalu kedua adalah dari sisi investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB). Nah, mungkin ini yang bisa menjadi mesin baru bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Laju investasi dalam tren yang meningkat sampai kemudian melambat pada kuartal II-2018.
Pertumbuhan investasi yang impresif dipengaruhi oleh ambisi Jokowi-JK di bidang infrastruktur. Belanja modal pemerintah sendiri tercatat dalam PMTB, sehingga pembangunan infrastruktur yang masif otomatis menumbuhkan kelompok pengeluaran ini.
Dengan ketersediaan infrastruktur yang membaik, pemodal swasta pun menjadi berani untuk menanamkan modal di Indonesia. Akibatnya, PMTB mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi kedua setelah konsumsi rumah tangga.
Namun semua berbalik tahun ini. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cukup dalam membuat pemerintah menunda sebagian impor bahan baku dan barang modal untuk proyek-proyek non-prioritas. Ambisi infrastruktur Jokowi-JK harus mengalah, terbentur karena prioritas bergeser menjadi menyelamatkan rupiah.
Apabila rupiah terus melemah (sepertinya begitu), maka bukan tidak mungkin penundaan importasi untuk keperluan infrastruktur akan berlanjut. Pertumbuhan investasi akan terancam melambat, dan ikut memberatkan laju pertumbuhan ekonomi.
NEXT
Komponen berikutnya adalah ekspor. Pertumbuhan ekspor pada masa pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya cukup mengesankan meski kemudian melambat pada akhir 2017 sampai sekarang.
Meski ekspor tumbuh, tetapi penyebabnya lebih karena kenaikan harga komoditas. Harga minyak sawit mentah (CPO) meroket sejak kuartal I-2015 hingga kuartal IV-2016. Setelah itu harga CPO berangsur turun dan ikut menyeret performa ekspor Indonesia.
Kinerja ekspor boleh saja lumayan bagus, tetapi ada pekerjaan rumah yang sejak lama belum tuntas. Indonesia masih menggantungkan diri kepada ekspor komoditas, bukan produk manufaktur. Indonesia hanya memiliki keunggulan komparatif, bukan kompetitif.
Ini yang membuat pelemahan rupiah belum mampu diterjemahkan menjadi peningkatan kinerja ekspor. Ketergantungan kepada komoditas membuat ekspor Indonesia lebih dipengaruhi oleh harga komoditas internasional dan permintaan dari negara mitra dagang.
Kunci jawaban pekerjaan rumah ini adalah industrialisasi. Ketika industri manufaktur terbangun, maka komoditas tidak perlu diekspor mentah-mentah tetapi diolah sehingga menghasilkan nilai tambah.
Membangun industri memang butuh proses, dan prasyaratnya adalah pembangunan infrastruktur. Bagaimana investor mau membangun pabrik kalau jalan hanya berupa tanah, listrik byar-pet, pelabuhan jauh, dan sebagainya?
Namun dengan rupiah yang melemah, sepertinya pembangunan infrastruktur juga sedikit banyak terhambat. Barang modal dan bahan baku untuk pembangunan industri juga semakin mahal saat rupiah melemah, sehingga menghambat investasi dan ekspansi pemodal swasta.
NEXT
Benang menjadi semakin kusut, mana yang mau diurai terlebih dulu? Mau memaksakan industrialisasi dengan konsekuensi biaya semakin mahal dan defisit transaksi berjalan (current account) membengkak? Atau menyelamatkan rupiah dulu dengan efek samping industrialisasi terlambat? Ah, sulit sekali...
Kesimpulannya adalah, betul bahwa Jokowi-JK bisa dibilang tidak berhasil memenuhi target pertumbuhan ekonomi seperti yang dijanjikan. Alih-alih bisa tumbuh 7-8%, Indonesia malah keteteran menjaga agar pertumbuhan ekonomi tidak sampai jatuh ke bawah 5%.
Mungkin janji dan optimisme yang berlebihan memang kurang bijaksana. Sebab kalau janji itu gagal ditepati, maka konsekuensinya lumayan fatal. Apalagi soal ekonomi yang menyangkut urusan perut ratusan juta rakyat Indonesia.
Pekerjaan rumah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pun masih banyak yang belum selesai. Misalnya seperti yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu pembangunan industri manufaktur. Bukannya semakin cepat, pertumbuhan industri manufaktur stagnan cenderung melambat dalam 4 tahun ini.
Namun bukan berarti pemerintah tidak melakukan apa-apa. Salah satu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah membangun infrastruktur secara masif. Meski hasilnya tidak akan mungkin dinikmati dalam waktu dekat. Kalau pun Jokowi kembali jadi presiden 2019-2024 (sekali lagi, kalau), mungkin dampaknya juga belum optimal.
Melihat Indonesia saat ini, masih punya pekerjaan rumah besar yang belum selesai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article Infrastruktur Ditunda, Pertumbuhan Ekonomi Jadi Korban
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular