Bursa Singapura Belum Bisa Beranjak dari Zona Merah

Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
09 October 2018 08:16
Investor tampaknya masih akan keluar dari pasar ekuitas dan masuk ke obligasi, setelah pasar obligasi Amerika Serikat reli pada perdagangan pekan lalu.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Singapura pada perdagangan pagi ini dibuka di zona merah. Investor tampaknya masih akan keluar dari pasar ekuitas dan masuk ke obligasi, setelah pasar obligasi Amerika Serikat reli pada perdagangan pekan lalu.

Indeks Straits Time dibuka melemah 0,21% ke level 3.174,87 atau kehilangan 6,58 poin. Volume perdagangan mencapai 30,6 juta saham senilai SGD 62,2 juta.

Saham-saham yang mendorong koreksi Straits Time antara lain, saham Jardine C&C yang turun 0,14%, saham SGX turun 0,14%, saham Venture turun 0,12% dan saham JSH USD turun 0,1%

Salah satu sentimen yang masih mempengaruhi bursa saham Asia pekan ini adalah kenaikan yield obligasi AS. Sepanjang pekan lalu, yield obligasi AS tenor 10 tahun melesat 17,1 bps. Kenaikan yield di AS adalah sinyal bullish bagi greenback, karena yield yang tinggi ini akan membuat kupon di lelang obligasi berikutnya akan naik.  

Inilah mengapa yield yang tinggi bisa menaikkan nilai dolar AS, karena minat investor akan tinggi ketika lelang obligasi selanjutnya. Untuk membeli obligasi pemerintah AS tentu butuh greenback, sehingga permintaan terhadap mata uang ini akan tinggi dan nilainya semakin mahal alias menguat. 

Tingginya permintaan terhadap dolar AS ini membuat mata uang Negeri Adidaya semakin digdaya. Arus modal yang bergerombol di sekitar dolar AS membuat pasar keuangan negara-negara lain ditinggalkan, termasuk Indonesia. 

Selain itu, investor di Asia juga mencemaskan langkah pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte berencana mengesahkan anggaran negara yang agresif dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2019-2021. Padahal pemerintahan sebelum Conte merancang anggaran negara hanya 0,8% PDB pada 2019 dan mencapai anggaran berimbang (fiscal balance) pada 2020. 

Pelaku pasar cemas karena Italia pernah mengalami krisis fiskal pada 2009-2010. Krisis ini menjadi sentimen negatif sehingga melemahkan pasar keuangan global.  

Investor takut hal serupa terulang saat Italia ingin defisit anggaran yang besar, artinya utang pemerintah Negeri Pizza akan semakin menumpuk. Pada akhir 2017, utang pemerintah Italia masih sangat besar yaitu mencapai 131,8% PDB. 

Melihat risiko besar di Benua Biru, investor pun mundur teratur. Bermain aman adalah pilihan yang bijak, karena tentu tidak ada yang mau uangnya 'terbakar'. 
(hps) Next Article Dialog AS-China Kandas, Straits Time Dibuka di Zona Hijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular