
Rupiah dan IHSG Anjlok, Pantaskah Selalu Menyalahkan Global?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 October 2018 13:57

Faktor kedua adalah perang dagang yang melibatkan AS dan negara-negara lain. Sebenarnya ini juga sudah bisa diprediksi, karena Trump hanya menjalankan janji kampanyenya yaitu America First. Kepentingan AS harus didahulukan.
Melihat defisit perdagangan AS yang menganga, Trump berang. Dia menganggap negara-negara lain telah mengambil keuntungan dari Negeri Paman Sam selama bertahun-tahun. Kini saatnya membalik itu.
Target utama Trump adalah China, negara importir terbesar AS. Pada 2017, AS mencatat defisit perdagangan US$ 375,57 miliar. Lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu minus US$ 346,99 miliar.
Oleh karena itu, Trump ingin menipiskan defisit dengan menghambat masuknya produk made in China ke AS. Caranya adalah membebankan bea masuk.
Sejak awal tahun, AS sudah mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 250 miliar. Kebijakan Trump membuat China berang dan membalas. Aksi saling balas bea masuk ini kemudian menghasilkan istilah perang dagang.
Perang dagang AS vs China membuat investor cemas. Pasalnya, AS dan China adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat mereka saling hambat, dampaknya adalah perlambatan arus perdagangan dunia.
Faktor ketiga adalah harga minyak. Sejak awal tahun, harga minyak jenis brent sudah meroket 27,65%.
Potensi harga minyak untuk terus naik masih cukup besar karena kian dekatnya pemberlakuan sanksi baru AS kepada Iran yaitu pada 4 November. Saat itu, Iran akan sulit mengekspor minyaknya karena blokade Negeri Adidaya.
Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global.
Ketiga faktor itu tidak jarang menjadi alasan mengapa pasar keuangan Indonesia tertekan. Namun karena tekanan yang dialami Indonesia lebih berat ketimbang negara-negara utama Asia Tenggara, tentunya ada faktor domestik yang ikut menjadi beban.
(aji/wed)
Melihat defisit perdagangan AS yang menganga, Trump berang. Dia menganggap negara-negara lain telah mengambil keuntungan dari Negeri Paman Sam selama bertahun-tahun. Kini saatnya membalik itu.
Target utama Trump adalah China, negara importir terbesar AS. Pada 2017, AS mencatat defisit perdagangan US$ 375,57 miliar. Lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu minus US$ 346,99 miliar.
Sejak awal tahun, AS sudah mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 250 miliar. Kebijakan Trump membuat China berang dan membalas. Aksi saling balas bea masuk ini kemudian menghasilkan istilah perang dagang.
Perang dagang AS vs China membuat investor cemas. Pasalnya, AS dan China adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat mereka saling hambat, dampaknya adalah perlambatan arus perdagangan dunia.
Faktor ketiga adalah harga minyak. Sejak awal tahun, harga minyak jenis brent sudah meroket 27,65%.
Potensi harga minyak untuk terus naik masih cukup besar karena kian dekatnya pemberlakuan sanksi baru AS kepada Iran yaitu pada 4 November. Saat itu, Iran akan sulit mengekspor minyaknya karena blokade Negeri Adidaya.
Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global.
Ketiga faktor itu tidak jarang menjadi alasan mengapa pasar keuangan Indonesia tertekan. Namun karena tekanan yang dialami Indonesia lebih berat ketimbang negara-negara utama Asia Tenggara, tentunya ada faktor domestik yang ikut menjadi beban.
(aji/wed)
Next Page
Faktor Domestik Juga Harus Diperbaiki
Pages
Most Popular