Rupiah dan IHSG Anjlok, Pantaskah Selalu Menyalahkan Global?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 October 2018 13:57
Rupiah dan IHSG Anjlok, Pantaskah Selalu Menyalahkan Global?
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan yang berat tahun ini. Situasi yang sama juga dialami oleh negara-negara lain, tetapi memang Indonesia agak sedikit lebih dalam. 

Sepanjang 2018, rupiah sudah melemah 10% di hadapan dolar Amerika Serikat. Mata uang negara-negara tetangga juga melemah, tetapi depresiasi rupiah lebih dalam. 

Misalnya ringgit Malaysia yang 'hanya' melemah 2,2%, dolar Singapura melemah 3,1%, atau peso Filipina yang melemah 8,7%. Bahkan baht Thailand mampu menguat 0,2%. 

Kemudian Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sejak awal tahun melemah 9,5%. IHSG memang lebih baik ketimbang bursa saham Filipina yang amblas 17,2%, tetapi bursa saham utama Asia Tenggara lainnya lebih unggul. Straits Times melemah 6,4%, KLCI terkoreksi 0,01%, bahkan indeks SET melesat 8,6%. 

Faktor global seringkali dituding jadi penyebab kinerja pasar keuangan Indonesia yang kurang memuaskan. Setidaknya ada tiga sentimen besar yang kerap dijadikan kambing hitam pelemahan rupiah dan IHSG. 

Pertama adalah pengetatan kebijakan moneter AS yang lebih agresif. Awalnya, pelaku pasar memperkirakan The Federal Reserve/The Fed naik tiga kali sepanjang 2018. Namun kini The Fed hampir pasti menaikkan bunga acuan empat kali. 

Apa yang dilakukan The Fed sebenarnya bisa dimaklumi. Perekonomian AS memang melaju kencang dengan pertumbuhan di kisaran 4%. Negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) US$ 19,4 triliun bisa tumbuh 4% adalah sesuatu yang agak sulit diterima akal sehat. 

Namun kebijakan stimulus pajak yang diterapkan Presiden Donald Trump ternyata berhasil mendorong ekonomi AS di luar batas kewajaran. Dunia usaha ekspansif, konsumsi meningkat, dan ekonomi berhasil tumbuh cepat. 

Apabila terus dibiarkan, maka ekonomi AS akan melaju terlalu kencang. Permintaan akan tumbuh jauh melebihi kemampuan penawaran, sehingga menimbulkan tekanan inflasi yang sebenarnya tidak perlu. 

Oleh karena itu, wajar The Fed lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Untuk mengekang kuda besar memang tidak bisa menggunakan tambang plastik. Kenaikan suku bunga acuan berfungsi untuk mengendalikan laju permintaan agar tidak berlari kencang tanpa kendali. 

Meski tujuannya untuk menekan permintaan, tetapi kenaikan suku bunga memiliki efek samping yaitu ikut mengerek imbalan investasi. Ini membuat arus modal deras membanjiri pasar keuangan AS, terutama di instrumen berpendapatan tetap. 

Arus modal yang tersedot ke AS membuat negara-negara lain, termasuk di Asia, hanya kebagian remah-remah. Hasilnya, mata uang dan pasar saham melemah. 

Faktor kedua adalah perang dagang yang melibatkan AS dan negara-negara lain. Sebenarnya ini juga sudah bisa diprediksi, karena Trump hanya menjalankan janji kampanyenya yaitu America First. Kepentingan AS harus didahulukan. 

Melihat defisit perdagangan AS yang menganga, Trump berang. Dia menganggap negara-negara lain telah mengambil keuntungan dari Negeri Paman Sam selama bertahun-tahun. Kini saatnya membalik itu. 

Target utama Trump adalah China, negara importir terbesar AS. Pada 2017, AS mencatat defisit perdagangan US$ 375,57 miliar. Lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya yaitu minus US$ 346,99 miliar. 

Oleh karena itu, Trump ingin menipiskan defisit dengan menghambat masuknya produk made in China ke AS. Caranya adalah membebankan bea masuk.

Sejak awal tahun, AS sudah mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 250 miliar. Kebijakan Trump membuat China berang dan membalas. Aksi saling balas bea masuk ini kemudian menghasilkan istilah perang dagang. 

Perang dagang AS vs China membuat investor cemas. Pasalnya, AS dan China adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat mereka saling hambat, dampaknya adalah perlambatan arus perdagangan dunia. 

Faktor ketiga adalah harga minyak. Sejak awal tahun, harga minyak jenis brent sudah meroket 27,65%. 

Potensi harga minyak untuk terus naik masih cukup besar karena kian dekatnya pemberlakuan sanksi baru AS kepada Iran yaitu pada 4 November. Saat itu, Iran akan sulit mengekspor minyaknya karena blokade Negeri Adidaya. 

Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global. 

Ketiga faktor itu tidak jarang menjadi alasan mengapa pasar keuangan Indonesia tertekan. Namun karena tekanan yang dialami Indonesia lebih berat ketimbang negara-negara utama Asia Tenggara, tentunya ada faktor domestik yang ikut menjadi beban. 


Bagi Indonesia, beban itu bernama transaksi berjalan (current account). Tahun ini, transaksi berjalan mengalami defisit yang lumayan dalam, karena lebih banyak devisa yang keluar ketimbang yang masuk dalam proses ekspor-impor barang dan jasa. 

Pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan mencapai 3,04% PDB, terdalam sejak 2014. Pada akhir tahun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit transaksi berjalan masih di kisaran 3% PDB. 

Akibatnya, rupiah melemah paling dalam di antara mata uang negara-negara utama Asia Tenggara. Ini karena rupiah kekurangan modal devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 

Saat rupiah melemah, dan prospek ke depannya juga suram, maka aset-aset berbasis mata uang ini menjadi tidak menarik. Siapa yang mau memegang aset yang nilainya berpotensi turun?

Aksi pelepasan pun tidak terhindarkan yang membuat tekanan terhadap rupiah dan IHSG semakin menjadi. Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya kita tidak lagi terlampau menyalahkan faktor global atas koreksi yang dialami IHSG dan rupiah.

Faktor global memang berpengaruh, tetapi itu juga dialami oleh negara-negara lain dan mereka lebih bisa bertahan ketimbang Indonesia. Pekerjaan rumah besar bagi Indonesia adalah memperbaiki transaksi berjalan. Itu adalah prioritas utama bila tidak ingin rupiah dan IHSG terus melemah.  

Kita patut menanti gebrakan baru dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk memperbaiki transaksi berjalan. Kita membutuhkan gebrakan ini, dan sebaiknya jangan selalu mengkambinghitamkan dinamika global.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular