Rupiah di Rp 15.000/US$, Jangan Terlalu Lebay Juga Sikapinya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 October 2018 10:19

Namun di kehidupan keseharian rakyat biasa, orang awam, apakah pelemahan rupiah sebegitu menakutkan seperti di pasar keuangan? Entah, tetapi sepertinya untuk saat ini belum terlalu terasa.
Paling mudah melihat dampak depresiasi kurs terhadap kehidupan sehari-hari adalah dari inflasi. Ketika rupiah melemah, maka harga barang impor akan tambah mahal.
Jangan bayangkan barang impor hanya yang mewah-mewah seperti tas Prada atau kaus Supreme. Kedelai untuk membuat tempe atau gandum yang menjadi bahan baku inti dari mi instan pun barang impor.
Namun untuk saat ini, depresiasi rupiah sepertinya belum memberikan tekanan terhadap inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi umum pada September adalah 2,88% year-on-year (YoY). Ini bahkan merupakan laju paling lambat sejak Agustus 2016.
Biasanya dampak pergerakan kurs akan dicerminkan oleh inflasi inti. Namun pada September, inflasi inti juga masih stabil di 2,82%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,9%.
Harga tempe mungkin naik, tapi tidak membuatnya setipis kartu ATM. Harga mi instan juga mungkin naik, tapi tidak membuatnya semahal spaghetti.
Oleh karena itu, setidaknya sampai sejauh ini, dampak pelemahan rupiah terhadap masyarakat kebanyakan mungkin belum terasa. Hidup masih berjalan seperti biasa, belum ada kejutan yang berarti.
Justru langkah penyelamatan rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan malah berpotensi 'menyiksa' masyarakat kebanyakan ini. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat bunga deposito di perbankan naik, dan bunga kredit pun ikut terkerek. Bagi yang masih punya tanggungan KPR, sepertinya perlu banyak usaha dan berdoa karena cicilan Anda kemungkinan besar bakal naik.
Apalagi kalau pemerintah sampai benar-benar menaikkan harga BBM. Inflasi yang aman-aman saja di kisaran 3% dijamin akan naik. Bukan hanya harga BBM yang naik, tetapi hampir seluruh barang dan jasa.
Saat harga BBM naik, angka kemiskinan biasanya bertambah. Mereka yang awalnya berstatus hampir miskin (near poor) akan jatuh ke jurang kemiskinan.
Menurut catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah penduduk yang hampir miskin atau rentan miskin ini mencapai 69 juta jiwa. Penduduk hampir miskin ini hanya berpendapatan 1,5 kali dari garis kemiskinan yang saat ini adalah Rp 401.220/bulan.
Ketika harga BBM naik, pendapatan mereka tidak akan cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang harganya bertambah. Jadilah mereka orang miskin baru.
Apakah demi menyelamatkan rupiah jutaan penduduk Indonesia harus rela berkorban untuk menjadi miskin? Apakah pengorbanan mereka sepadan?
Oleh karena itu, sangat bisa dipahami mengapa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih belum memikirkan opsi menaikkan harga BBM. Sebab, kebijakan ini mempertaruhkan nyawa jutaan manusia.
(aji/dru)
Paling mudah melihat dampak depresiasi kurs terhadap kehidupan sehari-hari adalah dari inflasi. Ketika rupiah melemah, maka harga barang impor akan tambah mahal.
Jangan bayangkan barang impor hanya yang mewah-mewah seperti tas Prada atau kaus Supreme. Kedelai untuk membuat tempe atau gandum yang menjadi bahan baku inti dari mi instan pun barang impor.
Biasanya dampak pergerakan kurs akan dicerminkan oleh inflasi inti. Namun pada September, inflasi inti juga masih stabil di 2,82%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,9%.
Harga tempe mungkin naik, tapi tidak membuatnya setipis kartu ATM. Harga mi instan juga mungkin naik, tapi tidak membuatnya semahal spaghetti.
Oleh karena itu, setidaknya sampai sejauh ini, dampak pelemahan rupiah terhadap masyarakat kebanyakan mungkin belum terasa. Hidup masih berjalan seperti biasa, belum ada kejutan yang berarti.
Justru langkah penyelamatan rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan malah berpotensi 'menyiksa' masyarakat kebanyakan ini. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat bunga deposito di perbankan naik, dan bunga kredit pun ikut terkerek. Bagi yang masih punya tanggungan KPR, sepertinya perlu banyak usaha dan berdoa karena cicilan Anda kemungkinan besar bakal naik.
Apalagi kalau pemerintah sampai benar-benar menaikkan harga BBM. Inflasi yang aman-aman saja di kisaran 3% dijamin akan naik. Bukan hanya harga BBM yang naik, tetapi hampir seluruh barang dan jasa.
Saat harga BBM naik, angka kemiskinan biasanya bertambah. Mereka yang awalnya berstatus hampir miskin (near poor) akan jatuh ke jurang kemiskinan.
Menurut catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah penduduk yang hampir miskin atau rentan miskin ini mencapai 69 juta jiwa. Penduduk hampir miskin ini hanya berpendapatan 1,5 kali dari garis kemiskinan yang saat ini adalah Rp 401.220/bulan.
Ketika harga BBM naik, pendapatan mereka tidak akan cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang harganya bertambah. Jadilah mereka orang miskin baru.
Apakah demi menyelamatkan rupiah jutaan penduduk Indonesia harus rela berkorban untuk menjadi miskin? Apakah pengorbanan mereka sepadan?
Oleh karena itu, sangat bisa dipahami mengapa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih belum memikirkan opsi menaikkan harga BBM. Sebab, kebijakan ini mempertaruhkan nyawa jutaan manusia.
(aji/dru)
Next Page
Rupiah Jangan Melemah Terlalu Lama
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular