Rupiah di Rp 15.000/US$, Jangan Terlalu Lebay Juga Sikapinya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 October 2018 10:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menjadi topik yang hangat diperbincangkan pada tahun ini. Wajar, karena mata uang Tanah Air memang melemah lumayan tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 10% di hadapan greenback. Di antara mata uang utama Asia, kinerja rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee India.
Bagi pasar keuangan, depresiasi rupiah memang membawa petaka. Di pasar obligasi, misalnya, pelemahan rupiah membuat investor asing kurang berminat terhadap instrumen ini. Sebab, imbalan yang mereka dapat dalam rupiah akan minim kala dikonversikan kembali ke dolar AS.
Demikian pula di pasar saham. Selisih keuntungan (gain) yang diterima investor asing dalam rupiah menjadi recehan belaka kala ditukarkan lagi ke greenback.
Ini tentu membuat investor asing gelisah, dan bisa tidak betah berlama-lama tinggal di pasar keuangan Indonesia. Perlu dicatat bahwa kepemilikan investor asing di pasar obligasi negara mencapai 37,12% per 3 Oktober 2018. Sementara di pasar saham, kepemilikan aset oleh investor asing mendominasi yaitu 51,69% per akhir September 2018.
Saat resah dan gelisah, mereka bisa menarik dana kapan saja. Ketika mereka keluar ramai-ramai, maka pasar keuangan Indonesia bisa hilang keseimbangan dan siap jatuh.
Oleh karena itu, rupiah memang perlu dijaga agar tidak melemah terlalu dalam. Sebab, nasib pasar keuangan Indonesia menjadi taruhannya.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan berbagai jurus untuk menyelamatkan rupiah dari jurang depresiasi. Otoritas fiskal telah mewajibkan pencampuran 20% bahan bakar nabati untuk minyak solar/diesel (B20) agar impor berkurang, menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk impor 1.147 produk luar negeri, sampai mewajibkan penggunaan Letter of Credit (L/C) di perbankan dalam negeri kepada eksportir.
Mungkin tinggal satu hal yang belum dilakukan pemerintah, yaitu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal kenaikan harga BBM bisa membantu mengurangi konsumsi sehingga impor pun berkurang. Namun pada tahun-tahun politik seperti sekarang, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk kebijakan non-populis.
Sedangkan otoritas moneter malah sudah mengeluarkan jurus pamungkas yaitu menaikkan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, BI sudah menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate sebanyak 150 basis poin (bps).
Semua itu dilakukan demi membuat rupiah bangkit, agar pasar keuangan Indonesia tetap atraktif. Investor asing memang perlu 'dijamu' agar mereka betah dan tidak minggat, sebab minggatnya mereka adalah bencana bagi pasar keuangan.
(NEXT)
Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 10% di hadapan greenback. Di antara mata uang utama Asia, kinerja rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee India.
Demikian pula di pasar saham. Selisih keuntungan (gain) yang diterima investor asing dalam rupiah menjadi recehan belaka kala ditukarkan lagi ke greenback.
Ini tentu membuat investor asing gelisah, dan bisa tidak betah berlama-lama tinggal di pasar keuangan Indonesia. Perlu dicatat bahwa kepemilikan investor asing di pasar obligasi negara mencapai 37,12% per 3 Oktober 2018. Sementara di pasar saham, kepemilikan aset oleh investor asing mendominasi yaitu 51,69% per akhir September 2018.
Saat resah dan gelisah, mereka bisa menarik dana kapan saja. Ketika mereka keluar ramai-ramai, maka pasar keuangan Indonesia bisa hilang keseimbangan dan siap jatuh.
Oleh karena itu, rupiah memang perlu dijaga agar tidak melemah terlalu dalam. Sebab, nasib pasar keuangan Indonesia menjadi taruhannya.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan berbagai jurus untuk menyelamatkan rupiah dari jurang depresiasi. Otoritas fiskal telah mewajibkan pencampuran 20% bahan bakar nabati untuk minyak solar/diesel (B20) agar impor berkurang, menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk impor 1.147 produk luar negeri, sampai mewajibkan penggunaan Letter of Credit (L/C) di perbankan dalam negeri kepada eksportir.
Mungkin tinggal satu hal yang belum dilakukan pemerintah, yaitu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal kenaikan harga BBM bisa membantu mengurangi konsumsi sehingga impor pun berkurang. Namun pada tahun-tahun politik seperti sekarang, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk kebijakan non-populis.
Sedangkan otoritas moneter malah sudah mengeluarkan jurus pamungkas yaitu menaikkan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, BI sudah menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate sebanyak 150 basis poin (bps).
Semua itu dilakukan demi membuat rupiah bangkit, agar pasar keuangan Indonesia tetap atraktif. Investor asing memang perlu 'dijamu' agar mereka betah dan tidak minggat, sebab minggatnya mereka adalah bencana bagi pasar keuangan.
(NEXT)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular