ANZ: Rugi Pertamina Talangi Subsidi BBM Akan Mengkhawatirkan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 October 2018 19:55
ANZ: Rugi Pertamina Talangi Subsidi BBM Akan Mengkhawatirkan
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC IndonesiaSetelah membukukan pertumbuhan 5,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) di kuartal I-2018, ekonomi Indonesia melaju hingga 5,3% YoY di kuartal II-2018. Baik konsumsi rumah tangga dan pemerintah meningkat dengan cepat.

Meski demikian, mengutip riset terbaru dari ANZ, Senin (1/10/2018) konsumsi rumah tangga maupun investasi menunjukkan perlambatan pada Juli dan Agustus 2018. Hal ini mengindikasikan akselerasi pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2018 hanya bersifat one shot.

Ekspor juga kehilangan momentum. Pasca membukukan pertumbuhan dua digit di kuartal II-2018, ekspor hanya tumbuh 4,1% YoY pada Agustus.

Satu-satunya indikator yang tumbuh positif hanyalah kredit perbankan. Perkembangan di sektor ini nampaknya diakibatkan peningkatan kredit sebelum pengetatan kebijakan yang lebih ketat.

Meski demikian, tantangan utama bagi pertumbuhan ekonomi akan datang pada 2019. Dampak stabilisasi rupiah, termasuk pengetatan kebijakan fiskal dan moneter serta kenaikan bea impor untuk barang konsumsi, sudah ditransmisikan secara penuh ke sektor riil.

Hingga saat ini, suku bunga pinjaman dan deposito hanya naik secara marjinal dan sporadis, meski secara kumulatif suku bunga acuan sudah dikerek naik sebesar 150 basis poin (bps). Menurut ANZ, transmisi secara penuh akan memakan waktu 4-6 kuartal.

Sebagai tambahan, pemerintah juga sudah menunda proyek kelistrikan sebesar US$ 7 miliar, di mana tentunya akan membebani investasi.

Alhasil, ANZ merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun 2019 ke angka 5% YoY dari semula 5,1% YoY. Sebagai informasi, proyeksi ini sudah mengasumsikan adanya dampak positif dari pengeluaran terkait pemilihan umum di tahun depan. 


Sementara itu, keputusan pemerintah untuk meminimalisasi adanya perubahan di harga bahan bakar minyak (BBM) domestik akan menekan inflasi secara keseluruhan, dan kebalikannya akan memperkuat daya beli rumah tangga.

Perbedaan antara harga BBM global dan domestik akan ditanggung oleh pemerintah, dalam bentuk beban subsidi dan Badan Usaha Milik Negara/BUMN (dalam hal ini Pertamina). Kerugian yang ditanggung Pertamina akan cukup mengkhawatirkan. Kenaikan harga BBM domestik akan diperlukan jika harga minyak global terus menanjak.

Menurut pandangan ANZ, kenaikan ini nampaknya akan dieksekusi pasca pemilu presiden di April 2019. Hal ini kemudian akan mendorong inflasi lebih tinggi, dan akhirnya membebani daya beli rumah tangga.

Inflasi umum saat ini masih berada di dalam rentang target Bank Indonesia (BI) sebesar 2,5 - 4,5%, tapi akan merangkak naik ke batas atas target BI pada akhir 2019 menyusul naiknya harga BBM domestik.

Berikut ulasan lengkap tim riset CNBC Indonesia terkait hasil riset Asia Economic Outlook (khusus untuk segmen Indonesia) dari ANZ.

(NEXT)

Terlepas dari keputusan untuk menunda proyek kelistrikan yang disebutkan sebelumnya, stance kebijakan fiskal memasuki tahun 2019 diprediksikan masih akan kontraktif. Target defisit anggaran pemerintah pada tahun ini direvisi lebih kecil ke angka 2,12% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan target awal 2,19%.

Pemerintah berencana memangkas defisit tersebut lebih jauh ke angka 1,84% PDB di tahun 2019. Target penurunan defisit keseimbangan primer bahkan diprediksi turun lebih tajam, yakni dari 0,44% PDB di tahun ini menjadi 0,13% di 2019.

Kebijakan moneter juga diekspektasikan tetap ketat mengingat Bank Indonesia (BI) berfokus pada stabilitas nilai tukar. Antara Mei sampai September 2018, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps ke 5,75%. BI juga terus mengulang bahwa mereka akan menerapkan kebijakan moneter proaktif dan front-loading.

Demi kestabilan rupiah, ANZ memperkirakan BI akan mengikuti langkah The Federal Reserve/The Fed yang menaikkan suku bunga acuan. Mengacu proyeksi ANZ, BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 6% pada Desember 2018, dilanjutkan dengan kenaikan 25 bps lagi di kuartal II-2019 ke angka 6,25%.

(NEXT)
Rupiah sejauh ini menjadi mata uang berperforma terburuk kedua di Asia secara tahun berjalan (year-to-date/YTD), menyusul jebolnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akibat kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) serta perkasanya dolar AS.

Terlepas dari kebijakan BI untuk menstabilkan nilai tukar, bank sentral Indonesia juga mengambil langkah intervensi ganda di pasar valas dan obligasi. Menurut pandangan ANZ, cadangan devisa masih dalam posisi yang aman pada level ini, serta rupiah masih cenderung undervalued.

Secara keseluruhan, ANZ melihat kebijakan stabilisasi nilai tukar akan berdampak positif, melihat komitmen yang kuat dari BI untuk menekan CAD dan pelemahan rupiah, bahkan jika memang mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Saat ini, kerentanan sebenarnya masih ada, khususnya akibat The Fed melanjutkan normalisasi suku bunga acuannya sehingga aliran portofolio masih cenderung bergejolak. Oleh karena itu, Indonesia perlu memastikan suku bunga domestik tetap menarik bagi investor asing. Dana asing yang masuk tentunya akan “memupuk” perbaikan CAD.



Atas dasar tersebut, ANZ merevisi proyeksi nilai tukar rupiah ke Rp14.950/US$ pada akhir tahun 2018. Meski demikian, setelah itu performanya cenderung sedikit membaik pada tahun depan.


TIM RISET CNBC INDONESIA




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular