
Inflasi Inti Turun, Jadi Bukti Konsumsi Masyarakat Lemah?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 October 2018 14:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bulan September 2018 terjadi deflasi sebesar 0,18% secara bulanan (month-to-month/MtM). Secara tahunan (year-on-year/YoY), terjadi inflasi sebesar 2,88%.
Tingkat inflasi tahunan di bulan lalu lantas menjadi yang terendah dalam 2 tahun terakhir, atau sejak Agustus 2016.
Capaian ini lantas diklaim pemerintah sebagai keberhasilan dalam mengendalikan harga, khususnya harga kebutuhan pangan. Kelompok bahan makanan memang tercatat mengalami deflasi hingga 1,62% MtM, serta menyumbang andil inflasi sebesar -0,35%.
Sedangkan, inflasi komponen makanan bergejolak juga tercatat minus -1,83% MtM, dengan andil inflasi sebesar - 0,34%.
Adapun jenis bahan makanan yang mengalami penurunan harga di antaranya daging ayam ras yang berikan andil deflasi 0,13%. Kemudian penurunan harga bawang merah dan ikan segar yang masing-masing berikan andil deflasi 0,05% dan 0,04%.
"Beberapa sayuran dan telur ayam juga turun. Serta cabai rawit," tutur Kepala BPS Suhariyanto pada konferensi pers hari ini.
BACA: Harga Daging Ayam Turun Jadi Penyebab Deflasi September 2018
Meski demikian, inflasi inti di bulan lalu tercatat sebesar 2,82% secara YoY, turun dari 2,90% YoY di bulan Agustus 2018. Capaian itu juga masih di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi inti sebesar 2,86% YoY.
Ini menjadi yang pertama kalinya inflasi inti mengalami penurunan cukup besar, sejak Februari 2018. Pada bulan Juni 2018, sebenarnya inflasi inti juga menurun, tapi jumlahnya tipis saja atau cenderung stagnan.
Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya. Melambatnya inflasi inti lantas bisa dipandang dari dua kacamata.
Pertama, melambatnya inflasi inti bisa didorong oleh konsumsi masyarakat yang mulai tertekan. Meski ada momen perbaikan sejak awal tahun, nampaknya daya beli mulai mengalami stagnasi.
Permintaan yang cenderung lemah mengakibatkan produsen tidak bisa menaikkan harga (malah terpaksa menurunkan harga). Sehingga, inflasi inti pun cenderung melambat pada bulan lalu.
Hipotesis ini didukung oleh optimisme konsumen memang agak melambat. Sepanjang Juni sampai Agustus, angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus menurun. Angkanya memang masih di atas 100, artinya konsumen masih percaya diri, tetapi kepercayaan diri itu menipis.
Tidak hanya IKK, penjualan ritel pun mulai agak lesu. Pada Juli, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat 216. Turun cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 237,8.
Kedua, perlambatan inflasi inti bisa dipandang dari sisi positif. Konsumsi masyarakat sejauh ini masih tahan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.
Di sepanjang bulan September, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 1,19% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang tahun ini, mata uang garuda bahkan sudah melemah nyaris 10%.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Juli 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,9% secara MtM, atau 11% lebih secara YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen.
Namun, dengan turunnya inflasi inti, maka bisa disimpulkan bahwa pelemahan rupiah sejauh ini belum berdampak terlalu parah bagi konsumsi masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bahwa depresiasi rupiah belum terlalu banyak mempengaruhi inflasi.
"Kami tidak melihat dampak exchange rate passthrough ke inflasi karena permintaan domestik kita masih di bawah tingkat output potensialnya. Inflasi dari sisi permintaan masih rendah, ekspektasi inflasi juga terjaga rendah," papar Perry.
Selain itu, sambung Perry, sejauh ini pengusaha juga masih belum terlalu membebankan dampak pelemahan kurs ke harga jual. Pengusaha lebih memilih melakukan efisiensi ketimbang harus menaikkan harga.
"Survei kami kepada para pengusaha menunjukkan ada sebagian yang tidak mau menaikkan harga. Sebagian besar pengusaha memilih mengurangi margin atau meningkatkan efisiensi," ungkapnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Harga Daging Ayam Turun Jadi Penyebab Deflasi September 2018
Tingkat inflasi tahunan di bulan lalu lantas menjadi yang terendah dalam 2 tahun terakhir, atau sejak Agustus 2016.
Sedangkan, inflasi komponen makanan bergejolak juga tercatat minus -1,83% MtM, dengan andil inflasi sebesar - 0,34%.
Adapun jenis bahan makanan yang mengalami penurunan harga di antaranya daging ayam ras yang berikan andil deflasi 0,13%. Kemudian penurunan harga bawang merah dan ikan segar yang masing-masing berikan andil deflasi 0,05% dan 0,04%.
"Beberapa sayuran dan telur ayam juga turun. Serta cabai rawit," tutur Kepala BPS Suhariyanto pada konferensi pers hari ini.
BACA: Harga Daging Ayam Turun Jadi Penyebab Deflasi September 2018
Meski demikian, inflasi inti di bulan lalu tercatat sebesar 2,82% secara YoY, turun dari 2,90% YoY di bulan Agustus 2018. Capaian itu juga masih di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi inti sebesar 2,86% YoY.
Ini menjadi yang pertama kalinya inflasi inti mengalami penurunan cukup besar, sejak Februari 2018. Pada bulan Juni 2018, sebenarnya inflasi inti juga menurun, tapi jumlahnya tipis saja atau cenderung stagnan.
Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya. Melambatnya inflasi inti lantas bisa dipandang dari dua kacamata.
Pertama, melambatnya inflasi inti bisa didorong oleh konsumsi masyarakat yang mulai tertekan. Meski ada momen perbaikan sejak awal tahun, nampaknya daya beli mulai mengalami stagnasi.
Permintaan yang cenderung lemah mengakibatkan produsen tidak bisa menaikkan harga (malah terpaksa menurunkan harga). Sehingga, inflasi inti pun cenderung melambat pada bulan lalu.
Hipotesis ini didukung oleh optimisme konsumen memang agak melambat. Sepanjang Juni sampai Agustus, angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus menurun. Angkanya memang masih di atas 100, artinya konsumen masih percaya diri, tetapi kepercayaan diri itu menipis.
Tidak hanya IKK, penjualan ritel pun mulai agak lesu. Pada Juli, Indeks Penjualan Riil (IPR) tercatat 216. Turun cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 237,8.
Kedua, perlambatan inflasi inti bisa dipandang dari sisi positif. Konsumsi masyarakat sejauh ini masih tahan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.
Di sepanjang bulan September, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 1,19% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang tahun ini, mata uang garuda bahkan sudah melemah nyaris 10%.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Juli 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,9% secara MtM, atau 11% lebih secara YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen.
Namun, dengan turunnya inflasi inti, maka bisa disimpulkan bahwa pelemahan rupiah sejauh ini belum berdampak terlalu parah bagi konsumsi masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bahwa depresiasi rupiah belum terlalu banyak mempengaruhi inflasi.
"Kami tidak melihat dampak exchange rate passthrough ke inflasi karena permintaan domestik kita masih di bawah tingkat output potensialnya. Inflasi dari sisi permintaan masih rendah, ekspektasi inflasi juga terjaga rendah," papar Perry.
Selain itu, sambung Perry, sejauh ini pengusaha juga masih belum terlalu membebankan dampak pelemahan kurs ke harga jual. Pengusaha lebih memilih melakukan efisiensi ketimbang harus menaikkan harga.
"Survei kami kepada para pengusaha menunjukkan ada sebagian yang tidak mau menaikkan harga. Sebagian besar pengusaha memilih mengurangi margin atau meningkatkan efisiensi," ungkapnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Harga Daging Ayam Turun Jadi Penyebab Deflasi September 2018
Most Popular