Harga Minyak Lanjut Reli, Tapi Terancam Lesunya Permintaan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 October 2018 10:45
Harga Minyak Lanjut Reli, Tapi Terancam Lesunya Permintaan
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Desember 2018 naik 0,57% ke level US$83,19/barel hingga pukul 10.19 WIB, pada perdagangan hari Senin (1/10/2018). Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak November 2018 juga menguat 0,44% ke level US$73,57/barel.

Dengan pergerakan tersebut, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa kembali mencetak rekor tertingginya baru dalam 4 tahun terakhir, atau sejak November 2014.

BACA: Pekan Ini, Harga Minyak Termahal Sejak 2014

Di awal pekan ini, harga minyak seakan belum bosan menguat. Di sepanjang pekan lalu, harga brent mampu melesat 4,97% secara point-to-point. Sedangkan harga minyak jenis light sweet yang menjadi  acuan di Amerika Serikat (AS) bertambah 3,49%.



Sentimen positif yang menjadi pendorong harga sang emas hitam hari ini masih datang dari kekhawatiran pelaku pasar terhadap sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran yang akan menyasar sektor perminyakan pada November mendatang.

Per 4 November, Washington meminta pembeli minyak mentah dari Iran (khususnya mitra AS) untuk memangkas pembelian dari Iran hingga ke titik nol.  Ancamannya adalah barang siapa yang berbisnis dengan Iran, maka tidak bisa berbisnis dengan Negeri Adidaya.

Kebijakan itu diambil untuk memaksa Negeri Persia untuk mau bernegosiasi kesepakatan nuklir yang baru, sekaligus membatasi pengaruh Iran di konflik Timur Tengah.

Sanksi ini berpotensi mengurangi pasokan minyak di pasar dunia. Data Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menyebutkan bahwa produksi Iran mencapai 3,87 juta barel/hari, dan ekspornya adalah 2,12 juta barel/hari. Jumlah itu bisa hilang saat Teheran terkena sanksi.

Arab Saudi diperkirakan akan menambah pasokan minyak secara diam-diam pada beberapa bulan ke depan untuk mengompensasi kejatuhan produksi dari Iran. Dua sumber yang familiar dengan kebijakan OPEC menyatakan bahwa Saudi dan produsen lainnya sedang berdiskusi kemungkinan peningkatan produksi sekitar 500.000 barel/hari.

Terlebih, pada akhir pekan lalu Presiden As Donald Trump dikabarkan mengontak Raja Salman dari Saudi, dalam rangka mendiskusikan langkah untuk menjaga pasokan global tetap memadai di kala ekspor Iran terpukul oleh sanksi.

Meski ada indikasi penambahan pasokan, namun banyak yang meragukan Saudi dan kolega mampu menutupi hilangnya pasokan yang besar dari Negeri Persia. "Hingga pasokan yang besar dapat disediakan oleh OPEC, trader akan terus mendorong harga bergerak lebih tinggi," ucap Stephen Innes, kepala perdagangan Asia Pasifik di Oanda, seperti dikutip dari Reuters.

"Bahkan, jika mereka (Saudi) ingin tunduk pada permintaan Trump, seberapa besar spare capacity yang dimiliki Kerajaan (Saudi)?" lanjut Innes.  

Senada dengan itu, ANZ menyatakan bahwa pemasok minyak utama akan mengalami kesulitan untuk mengompensasi hilangnya pasokan minyak Iran sebesar 1,5 juta barel/hari. Sebagai catatan, Iran adalah negara produsen minyak terbesar ketiga di OPEC. Alhasil, jatuhnya produksi dari Teheran pastinya akan membatasi OPEC untuk mengeksekusi kebijakan penambahan produksi.

Oleh karena itu, investor tetap berpandangan pasokan minyak global akan seret ke depannya. Persepsi ini mendongkrak harga minyak ke titik tertingginya sejak 2014.

(NEXT)

Meski demikian, penguatan harga minyak hari ini cenderung terbatas. Tidak seperti akhir pekan lalu di mana harganya mampu menguat hingga 1% lebih. Nampaknya, pelaku pasar kini dibuat cemas akan adanya sinyal perlambatan permintaan komoditas energi utama dunia ini.

Pasalnya, kenaikan harga yang terlalu kencang dikhawatirkan akan menimbulkan efek inflatoir pada pertumbuhan permintaan, khusunya di pasar negara berkembang Asia di mana pelemahan kurs akan mengerek biaya impor semakin tinggi.

Selain itu, lesunya permintaan juga dikhawatirkan terjadi karena dampak perang dagang AS vs China yang kini semakin nyata.

Pada hari Minggu (30/9/2018), indeks manufaktur PMI China bulan September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters sebesar 51,2.

Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang mana vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka level 50 di bulan September, juga lebih rendah dari konsensus Reuters sebesar 50,5.

Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke level 48 di bulan September, dari sebelumnya 49,4 di Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut. Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China yang berkepanjangan telah mendinginkan perekonomian negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia ini.

Cepat atau lambat, efek ini akan menular ke negara-negara Asia lainnya, terutama ke mitra dagang utama Beijing seperti Korea Selatan dan Jepang. Perlambatan ekonomi dapat ditransmisikan menjadi menurunnya permintaan komoditas minyak global. Hal ini lantas membatasi penguatan harga sang emas hitam hari ini.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular