
Harga Minyak Lanjut Reli, Tapi Terancam Lesunya Permintaan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 October 2018 10:45

Meski demikian, penguatanĀ harga minyak hari ini cenderung terbatas. Tidak seperti akhir pekan lalu di mana harganya mampu menguat hingga 1% lebih. Nampaknya, pelaku pasar kini dibuat cemas akan adanya sinyal perlambatan permintaan komoditas energi utama dunia ini.
Pasalnya, kenaikan harga yang terlalu kencang dikhawatirkan akan menimbulkan efek inflatoir pada pertumbuhan permintaan, khusunya di pasar negara berkembang Asia di mana pelemahan kurs akan mengerek biaya impor semakin tinggi.
Selain itu, lesunya permintaan juga dikhawatirkan terjadi karena dampak perang dagang AS vs China yang kini semakin nyata.
Pada hari Minggu (30/9/2018), indeks manufaktur PMI China bulan September 2018 jatuh ke angka 50,8. Level itu merupakan yang terendah dalam 7 bulan terakhir, atau jauh di bawah konsensus Reuters sebesar 51,2.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang mana vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka level 50 di bulan September, juga lebih rendah dari konsensus Reuters sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke level 48 di bulan September, dari sebelumnya 49,4 di Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut. Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China yang berkepanjangan telah mendinginkan perekonomian negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Cepat atau lambat, efek ini akan menular ke negara-negara Asia lainnya, terutama ke mitra dagang utama Beijing seperti Korea Selatan dan Jepang. Perlambatan ekonomi dapat ditransmisikan menjadi menurunnya permintaan komoditas minyak global. Hal ini lantas membatasi penguatan harga sang emas hitam hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA) (RHG/gus)
Pasalnya, kenaikan harga yang terlalu kencang dikhawatirkan akan menimbulkan efek inflatoir pada pertumbuhan permintaan, khusunya di pasar negara berkembang Asia di mana pelemahan kurs akan mengerek biaya impor semakin tinggi.
Selain itu, lesunya permintaan juga dikhawatirkan terjadi karena dampak perang dagang AS vs China yang kini semakin nyata.
Data serupa yang dikeluarkan swasta versi Caixin/Markit (yang berfokus pada perusahaan kecil dan menengah, yang mana vital bagi penciptaan lapangan kerja China) juga menunjukkan pelemahan ke angka level 50 di bulan September, juga lebih rendah dari konsensus Reuters sebesar 50,5.
Perlambatan indeks manufaktur di Negeri Panda tidak lepas dari pemesanan barang ekspor yang melambat ke level 48 di bulan September, dari sebelumnya 49,4 di Agustus. Dengan capaian itu, pemesanan barang ekspor sudah terkontraksi selama 4 bulan berturut-turut. Data-data ini semakin mengonfirmasi bahwa perang dagang AS vs China yang berkepanjangan telah mendinginkan perekonomian negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Cepat atau lambat, efek ini akan menular ke negara-negara Asia lainnya, terutama ke mitra dagang utama Beijing seperti Korea Selatan dan Jepang. Perlambatan ekonomi dapat ditransmisikan menjadi menurunnya permintaan komoditas minyak global. Hal ini lantas membatasi penguatan harga sang emas hitam hari ini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA) (RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular