
Risiko Resesi AS Turut Tekan Harga Minyak
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 March 2019 16:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada perdagangan Senin siang ini (25/3/2019) masih berada di zona merah akibat dari kekhawatiran penurunan permintaan ditengah perlambatan ekonomi global.
Hingga pukul 15:45 WIB, harga minyak Brent kontrak Mei terkoreksi 0,48% ke posisi US$ 66,71/barel, setelah melemah 1,22% pada perdagangan akhir pekan lalu (22/3/2019).
Adapun jenis light sweet (WTI) kontrak Mei terkoreksi 0,44% ke level US$ 58,71/barel, setelah anjlok 1,68% di akhir pekan lalu.
Selama sepekan, harga Brent dan WTI masing-masing amblas 1,23% dan 0,64% secara point-to-point. Sejak awal tahun, keduanya telah terdongkrak dengan nilai rata-rata sebesar 26,64%.
Tampaknya pelaku pasar juga dibuat khawatir akan banjir pasokan sebagai akibat ancaman resesi di Amerika Serikat (AS).
Pasalnya bila ekonomi AS benar-benar mengalami resesi maka dampaknya akan meluas. Perekonomian global juga bisa ikut terseret ke bawah. Permintaan energi juga bisa ikut berkurang.
Pada pukul 11:06 WIB, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 3 bulan (2,4527%) masih terpantau lebih tinggi ketimbang yield surat utang yang bertenor 10 tahun (2,4372). Atau dengan kata lain terjadi inversi pada yield obligasi pemerintah.
Seringkali inversi antara yield obligasi tenor 3 bulan dengan tenor 10 tahun dijadikan acuan untuk mengukur potensi terjadinya resesi dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Purcahasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jerman periode Maret juga dibacakan pada posisi yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya, yaitu hanya 44,7. Parahnya, nilai tersebut merupakan yang paling rendah sejak Agustus 2012. Sebagai informasi, nilai dibawah 50 berarti terjadi kontraksi pada aktivitas industri manufaktur, dan berlaku pula sebaliknya.
Artinya, industri manufaktur di negara nomor 1 di Eropa tersebut sedang lesu. Bahkan yang paling lesu sejak 7 tahun lalu. Sudah tentu hal ini membuat pelaku pasar khawatir akan penyerapan pasokan minyak.
Kala industri tak bergairah, pertumbuhan permintaan minyak dapat terganggu. Ujung-ujungnya keseimbangan fundamental di pasar minyak dunia menjadi timpang dan membebani harga.
Tapi untungnya gerakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya untuk memangkas pasokan minyak dunia sebesar 1,2 juta barel/hari bisa menahan laju koreksi harga lebih dalam.
Sebelumnya agenda pertemuan luar biasa antara anggota OPEC+ (OPEC dan sekutunya) yang dijadwalkan pada bulan April telah dibatalkan oleh pertemuan panelis OPEC+.
Artinya hingga tengah tahun ini, kebijakan OPEC+ masih akan tetap sama, yaitu menahan produksi minyak pada level yang rendah.
Apalagi tampaknya Arab Saudi ingin mendorong harga minyak hingga berada di kisaran US$ 70/barel.
"Arab Saudi ingin harga minyak setidaknya sebesar US$ 70/barel dan tak khawatir berlebihan akan minyak serpih," ujar pelaku industri yang mengetahui masalah tersebut, mengutip Reuters.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 15:45 WIB, harga minyak Brent kontrak Mei terkoreksi 0,48% ke posisi US$ 66,71/barel, setelah melemah 1,22% pada perdagangan akhir pekan lalu (22/3/2019).
Adapun jenis light sweet (WTI) kontrak Mei terkoreksi 0,44% ke level US$ 58,71/barel, setelah anjlok 1,68% di akhir pekan lalu.
Tampaknya pelaku pasar juga dibuat khawatir akan banjir pasokan sebagai akibat ancaman resesi di Amerika Serikat (AS).
Pasalnya bila ekonomi AS benar-benar mengalami resesi maka dampaknya akan meluas. Perekonomian global juga bisa ikut terseret ke bawah. Permintaan energi juga bisa ikut berkurang.
Pada pukul 11:06 WIB, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 3 bulan (2,4527%) masih terpantau lebih tinggi ketimbang yield surat utang yang bertenor 10 tahun (2,4372). Atau dengan kata lain terjadi inversi pada yield obligasi pemerintah.
Seringkali inversi antara yield obligasi tenor 3 bulan dengan tenor 10 tahun dijadikan acuan untuk mengukur potensi terjadinya resesi dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Purcahasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jerman periode Maret juga dibacakan pada posisi yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya, yaitu hanya 44,7. Parahnya, nilai tersebut merupakan yang paling rendah sejak Agustus 2012. Sebagai informasi, nilai dibawah 50 berarti terjadi kontraksi pada aktivitas industri manufaktur, dan berlaku pula sebaliknya.
Artinya, industri manufaktur di negara nomor 1 di Eropa tersebut sedang lesu. Bahkan yang paling lesu sejak 7 tahun lalu. Sudah tentu hal ini membuat pelaku pasar khawatir akan penyerapan pasokan minyak.
Kala industri tak bergairah, pertumbuhan permintaan minyak dapat terganggu. Ujung-ujungnya keseimbangan fundamental di pasar minyak dunia menjadi timpang dan membebani harga.
Tapi untungnya gerakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama sekutunya untuk memangkas pasokan minyak dunia sebesar 1,2 juta barel/hari bisa menahan laju koreksi harga lebih dalam.
Sebelumnya agenda pertemuan luar biasa antara anggota OPEC+ (OPEC dan sekutunya) yang dijadwalkan pada bulan April telah dibatalkan oleh pertemuan panelis OPEC+.
Artinya hingga tengah tahun ini, kebijakan OPEC+ masih akan tetap sama, yaitu menahan produksi minyak pada level yang rendah.
Apalagi tampaknya Arab Saudi ingin mendorong harga minyak hingga berada di kisaran US$ 70/barel.
"Arab Saudi ingin harga minyak setidaknya sebesar US$ 70/barel dan tak khawatir berlebihan akan minyak serpih," ujar pelaku industri yang mengetahui masalah tersebut, mengutip Reuters.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular