Ini Bank Sentral yang Paling Hawkish di Asia

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
27 September 2018 21:13
Ini Bank Sentral yang Paling Hawkish di Asia
Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) hingga 150 bps sejak awal tahun, menjadikan BI salah satu bank sentral paling agresif di Asia.

Langkah normalisasi moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve/The Fed, menyebabkan bank sentral di negara-negara emerging market termasuk Indonesia perlu mengambil langkah yang sama.
 

The Fed terhitung telah menaikkan suku bunga acuan hingga 75 bps ke level 2-2,25% sejak awal tahun. Kenaikan ini berpengaruh terhadap keperkasaan dolar AS terhadap mata uang global. Ini tercermin dari pergerakan dolar index yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama menguat hingga 2,91%.  

Sontak saja penguatan ini menyebabkan rupiah terdepresiasi cukup dalam. Per hari ini, posisi rupiah berada di level psikologis Rp 14.900/US$. Bahkan kemarin, posisi rupiah sempat menembus Rp 14.940/US$ atau terlemah sejak krisis moneter 1998.

Bank Sentral Mana yang Paling Hawkish di Asia? BI Jawabnya!Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)


Sejak awal tahun, depresiasi rupiah telah mencapai 9,92%.
 Kondisi ini cukup mengkhawatirkan BI, sehingga kenaikan suku bunga acuan jadi andalan. Pada Rapat Dewan Gubernur BI beberapa saat lalu, suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo kembali naik 25 basis poin ke level 5,75%. Sejak Mei 2018, terhitung BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps.  



Sikap hawkish BI memang diperlukan karena pergerakan kurs rupiah yang semakin mengkhawatirkan. Terlebih menurut gubernur BI Perry Warjiyo, pergerakan rupiah saat ini sudah tidak mencerminkan nilai fundamentalnya. Oleh karena itu, jurus kenaikan suku bunga acuan menjadi andalannya.  

(NEXT)


Lantas jika kita bandingkan suku bunga acuan bank sentral negara-negara di kawasan Asia? Faktanya suku bunga acuan di Indonesia bukan merupakan yang tertinggi.


  


Tingkat suku bunga acuan tertinggi masih dimiliki bank sentral Iran yang berada di posisi 18%. Selanjutnya ada Uzbekistan yang sebesar 16%. Sementara negara emerging market seperti China, tingkat suku bunga acuannya masih lebih rendah dari Indonesia yaitu 4,35%.

Di kawasan ASEAN sendiri, tingkat suku bunga acuan di Myanmar merupakan yang tertinggi di level 10%, disusul Vietnam sebesar 6,25%. Namun yang menarik, sikap BI yang menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps menjadikan Indonesia jadi negara paling hawkish setelah Pakistan.

Seperti halnya Indonesia, bank sentral filipina telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps. Sementara negara-negara seperti Arab Saudi dan Hongkong baru menaikkan suku bunga acuan masing-masing 80 dan 75 bps.




Lalu Malaysia menjadi negara yang paling hati-hari menaikkan suku bunga acuan karena kenaikan hanya 25 bps. Yang jadi pertanyaan, kenapa negara-negara tersebut begitu agresif menaikkan suku bunga acuan? Jelas untuk melindungi stabilitas nilai tukarnya.

Ambil tiga contoh negara misalnya Pakistan, Indonesia dan Filipina. Depresiasi ketiga mata uang masing-masing negara tersebut cukup dalam. 



Depresiasi mata uang tidak hanya dipengaruhi global, namun juga fundamental seperti neraca transaksi berjalan. Saat neraca transaksi berjalan suatu negara mengalami defisit, akan memberi tekanan kepada mata uang domestik. Aliran valas yang lebih banyak keluar dibandingkan bertahan menjadi penyebab tersebut.


 

Kondisi defisit transaksi berjalan yang cukup dalam ini yang jadi awal penyebab depresiasi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, mau tidak mau bank sentral seperti di Pakistan, Indonesia, dan Filipina bertindak agresif.  

Satu fakta menarik adalah India. Jika kita lihat bank sentral negara tersebut tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga acuannya. Padahal defisit neraca transaksi berjalan yang dialaminya cukup dalam.

Dampaknya, mata uang negara tersebut pun melemah hingga sempat menembus titik tertingginya pada 25 September lalu.  Artinya, kebijakan yang dilakukan BI saat ini benar adanya.

Jika saja tidak bertindak hawkish, bisa jadi pelemahan rupiah saat ini bisa lebih dalam ke depannya. Apalagi di tengah ketidakpastian global saat ini menjadikan aliran modal ke negara-negara emerging market menjadi selektif. 


TIM RISET CNBC INDONESIA      

               
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular