
Ini Bank Sentral yang Paling Hawkish di Asia
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
27 September 2018 21:13

Lantas jika kita bandingkan suku bunga acuan bank sentral negara-negara di kawasan Asia? Faktanya suku bunga acuan di Indonesia bukan merupakan yang tertinggi.
Tingkat suku bunga acuan tertinggi masih dimiliki bank sentral Iran yang berada di posisi 18%. Selanjutnya ada Uzbekistan yang sebesar 16%. Sementara negara emerging market seperti China, tingkat suku bunga acuannya masih lebih rendah dari Indonesia yaitu 4,35%.
Di kawasan ASEAN sendiri, tingkat suku bunga acuan di Myanmar merupakan yang tertinggi di level 10%, disusul Vietnam sebesar 6,25%. Namun yang menarik, sikap BI yang menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps menjadikan Indonesia jadi negara paling hawkish setelah Pakistan.
Seperti halnya Indonesia, bank sentral filipina telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps. Sementara negara-negara seperti Arab Saudi dan Hongkong baru menaikkan suku bunga acuan masing-masing 80 dan 75 bps.
Lalu Malaysia menjadi negara yang paling hati-hari menaikkan suku bunga acuan karena kenaikan hanya 25 bps. Yang jadi pertanyaan, kenapa negara-negara tersebut begitu agresif menaikkan suku bunga acuan? Jelas untuk melindungi stabilitas nilai tukarnya.
Ambil tiga contoh negara misalnya Pakistan, Indonesia dan Filipina. Depresiasi ketiga mata uang masing-masing negara tersebut cukup dalam.
Depresiasi mata uang tidak hanya dipengaruhi global, namun juga fundamental seperti neraca transaksi berjalan. Saat neraca transaksi berjalan suatu negara mengalami defisit, akan memberi tekanan kepada mata uang domestik. Aliran valas yang lebih banyak keluar dibandingkan bertahan menjadi penyebab tersebut.
Kondisi defisit transaksi berjalan yang cukup dalam ini yang jadi awal penyebab depresiasi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, mau tidak mau bank sentral seperti di Pakistan, Indonesia, dan Filipina bertindak agresif.
Satu fakta menarik adalah India. Jika kita lihat bank sentral negara tersebut tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga acuannya. Padahal defisit neraca transaksi berjalan yang dialaminya cukup dalam.
Dampaknya, mata uang negara tersebut pun melemah hingga sempat menembus titik tertingginya pada 25 September lalu. Artinya, kebijakan yang dilakukan BI saat ini benar adanya.
Jika saja tidak bertindak hawkish, bisa jadi pelemahan rupiah saat ini bisa lebih dalam ke depannya. Apalagi di tengah ketidakpastian global saat ini menjadikan aliran modal ke negara-negara emerging market menjadi selektif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru)
Tingkat suku bunga acuan tertinggi masih dimiliki bank sentral Iran yang berada di posisi 18%. Selanjutnya ada Uzbekistan yang sebesar 16%. Sementara negara emerging market seperti China, tingkat suku bunga acuannya masih lebih rendah dari Indonesia yaitu 4,35%.
Seperti halnya Indonesia, bank sentral filipina telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps. Sementara negara-negara seperti Arab Saudi dan Hongkong baru menaikkan suku bunga acuan masing-masing 80 dan 75 bps.
Lalu Malaysia menjadi negara yang paling hati-hari menaikkan suku bunga acuan karena kenaikan hanya 25 bps. Yang jadi pertanyaan, kenapa negara-negara tersebut begitu agresif menaikkan suku bunga acuan? Jelas untuk melindungi stabilitas nilai tukarnya.
Ambil tiga contoh negara misalnya Pakistan, Indonesia dan Filipina. Depresiasi ketiga mata uang masing-masing negara tersebut cukup dalam.
Depresiasi mata uang tidak hanya dipengaruhi global, namun juga fundamental seperti neraca transaksi berjalan. Saat neraca transaksi berjalan suatu negara mengalami defisit, akan memberi tekanan kepada mata uang domestik. Aliran valas yang lebih banyak keluar dibandingkan bertahan menjadi penyebab tersebut.
Kondisi defisit transaksi berjalan yang cukup dalam ini yang jadi awal penyebab depresiasi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, mau tidak mau bank sentral seperti di Pakistan, Indonesia, dan Filipina bertindak agresif.
Satu fakta menarik adalah India. Jika kita lihat bank sentral negara tersebut tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga acuannya. Padahal defisit neraca transaksi berjalan yang dialaminya cukup dalam.
Dampaknya, mata uang negara tersebut pun melemah hingga sempat menembus titik tertingginya pada 25 September lalu. Artinya, kebijakan yang dilakukan BI saat ini benar adanya.
Jika saja tidak bertindak hawkish, bisa jadi pelemahan rupiah saat ini bisa lebih dalam ke depannya. Apalagi di tengah ketidakpastian global saat ini menjadikan aliran modal ke negara-negara emerging market menjadi selektif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru)
Pages
Most Popular