Jangan Pesimistis! Rupiah Bisa Saja ke Rp 10.000/US$, Asal..

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
25 September 2018 17:32
Jangan Pesimistis! Rupiah Bisa Saja ke Rp 10.000/US$, Asal..
Foto: Ilustrasi demo (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Posisi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menembus Rp 14.900/US$ hari ini, memang sulit dihindari. Jelang rapat bulanan Federal Reserve/The Fed malam ini, pelaku pasar telah memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps)  di Negeri Paman Sam.  Survei yang dilakukan Fed Watch bahkan memprediksi kenaikan tersebut, dengan tingkat keyakinan mencapai 93,8%.

Sontak saja hal ini mendorong dolar AS menguat dan menekan mata uang global termasuk rupiah.
 Posisi rupiah yang tertekan, menyebabkan pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah angkat bicara. Halim menyatakan sulit bagi rupiah untuk kembali ke level Rp 10.000/US$. Kondisi likuiditas global yang ketat seiring terjadinya perang suku bunga acuan.  

Selain AS, bank sentral di negara-negara seperti Turki, Argentina bahkan Indonesia sudah menunjukkan stance kebijakan moneter yang agresif. Bahkan Swedia, Swiss hingga Norwegia mulai mengikuti jejak tersebut. Alhasil, kondisi ini menyebabkan perputaran dana global semakin sulit ditebak, bergantung kepada tingkat return hingga keamanan dana itu sendiri.  

Lebih lanjut menurut halim, Indonesia harus menaikkan suku bunga guna menjaga keseimbangan sistem stabilitas keuangannya. Senada dengan hal tersebut, kenaikan suku bunga acuan memang obat jangka pendek dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Namun hal ini akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.  Dilema kebijakan ini, menyebabkan Bank Indonesia dan pemerintah harus memutar otak guna meredam pelemahan rupiah saat ini. Sebagai informasi, rupiah telah melemah 9% lebih sejak awal tahun.  



Masalah pelemahan rupiah sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor global, namun juga fundamental. Hal ini yang seharusnya dibenahi oleh pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) serta stakeholder terkait. Lantas apa masalah fundamental tersebut? Jawabannya defisit transaksi berjalan.


(NEXT)


Permasalahan defisit transaksi berjalan bagaikan noda bandel yang sulit dihilangkan dari baju. Praktis Sejak kuartal IV-2011, Indonesia begitu akrab dengan permasalahan tersebut.
 
 
Terakhir Indonesia menikmati surplus terjadi pada kuartal III-2011. Namun setelah periode tersebut, defisit mulai terjadi. Bahkan di kuartal II-2014, defisit transaksi berjalan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sempat menembus rekor tertinggi di angka 4,30%. Selepas periode tersebut, defisit bergerak naik turun seperti ombak di pantai. Hingga di kuartal II-2018, defisit sebesar 3% dari PDB.

Saat mengalami surplus, nilai tukar rupiah berada di level Rp 8.500/US$. Ini merupakan posisi terkuat rupiah sejak tahun 2004. Namun sejak defisit terjadi, pelemahan rupiah mulai terjadi. Dari mulai menembus posisi Rp 10.000/US$ di 2013, hingga menembus posisi terlemah semenjak krisis 1998 yaitu Rp 14.930/US$ pada 5 September lalu.
 
 
 
Pergerakan rupiah ini seakan memberikan sinyal kuat jika permasalahan defisit transaksi berjalan begitu penting untuk diselesaikan. Akhir-akhir ini pemerintah mulai menunjukkan sikap guna menurunkan defisit yang ada. Mulai dari pembatasan impor, menaikkan pajak impor barang konsumsi, peluncuran program B20 hingga mendesak ekspotir memindahkan Dana Hasil Ekspor (DHE) ke dalam negeri.
 
Namun dibalik semua rencana tersebut, fokus awal yang perlu diterapkan pemerintah adalah bagaimana menciptakan neraca perdagangan yang surplus. Di tahun ini saja, hanya dua periode Negeri Merah Putih meraih surplus yaitu Maret dan Juni. selebihnya mengalami defisit perdagangan.
 
Sebagai bagian perhitungan dari transaksi berjalan, neraca perdagangan perlu dikondisikan mampu mencetak surplus. Sebab, jika mengandalkan pos neraca transaksi finansial akan sulit. Sifat modal asing/hot money yang gemar berpindah-pindah, menyebabkan pos tersebut sulit diandalkan untuk menciptakan transaksi berjalan mengalami surplus.
 
Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyusun strategi lain agar kegiatan perdagangan mampu membalik keadaan, dari defisit menjadi surplus secara konsisten.
 
Saat ini, jumlah eksportir di dalam negeri masih minim. Data dari Kementerian Perdagangan, jumlah eksportir yang tercatat baru 1026 perusahaan. Sementara potensi jumlah eksportir di Indonesia cukup besar.
 
Misalnya dari sisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Data Kementerian Koperasi dan UKM per 2018, jumlah UMKM mencapai 59,2 juta. Sementara menurut ketua asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun, jumlah eksportir UMKM hanya sekitar 5%.
 
Permasalahan utama di lapangan yang dihadapi para UMKM yaitu surat izin, jaminan kualitas barang hingga pangsa pasar. Untuk permasalahan pertama, jelas intervensi pemerintah kuncinya. Bagaimana pemerintah dari pusat hingga daerah memberi kemudahan penerbitan surat izin bagi para UMKM yang hendak mengekspor produknya.
 
Sementara permasalahan kualitas, peran pemerintah lagi-lagi dibutuhkan. Pemerintah perlu meyakinkan para pembeli di luar negeri bahwa kualitas barang yang dikirim memang bagus. Bila perlu, pemerintah melakukan seleksi terhadap barang tersebut. Jika kurang layak, maka pemerintah dapat melakukan penyuluhan dan bimbingan. Jika telah lolos, maka pemerintah dapat membubuhkan stempel jika barang tersebut lolos standar pemerintah, sehingga kualitasnya tidak perlu diragukan.
 
Permasalahan ketiga terkait pangsa pasar, pemerintah perlu memanfaatkan perkembangan teknologi. Di era melek internet saat ini, hampir semua masyarakat seluruh dunia dapat mengakses informasi di manapun termasuk berbelanja. Saat ini sudah banyak situs-situs belanja online besar seperti amazon, alibaba, JD.ID, lazada hingga tokopedia.
 
Kehadiran situs-situs tersebut khususnya yang ada di dalam negeri bisa dimanfaatkan UMKM untuk memasarkan produknya. Pemerintah perlu menjalin kerjasama dengan para provider agar memberikan ruang lebih bagi para UMKM memasarkan produknya. Kemudahan pendaftaran hingga bimbingan cara berjualan online dapat diberikan pemerintah. Hal ini guna meningkatkan daya tarik para UMKM untuk lebih melek teknologi, sehingga mampu mendorong jumlah eksportir lebih banyak.
 
Jika hal ini bisa diwujudkan, bukan tidak mungkin lambat laun kinerja perdagangan Indonesia mulai kinclong. Dampaknya ikut memperbaiki kinerja transaksi berjalan sehingga mampu mencetak surplus kedepannya. Di sisi lain, nilai tukar akan stabil kedepannya dan mampu menguat hingga level Rp 10.000/US$ atau lebih baik dari itu.



TIM RISET CNBC INDONESIA
 
 
 
 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular