
Ini Saran BI untuk Mengobati 'Kanker' Perekonomian Indonesia
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
19 September 2018 15:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap US$ masih terus terjadi. Sampai dengan awal September lalu, rupiah sudah melemah 9,82%.
Salah satu faktor utama di balik pelemahan itu adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Besaran CAD per triwulan II melebar menjadi US$ 8 miliar atau 3% dari PDB.
Perdebatan yang berkembang belakangan mengemuka seiring langkah pemerintah menekan CAD. Langkah itu dikhawatirkan menekan pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia (BI) menilai upaya menekan CAD tidak harus selalu diartikan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.'
Direktur Eksekutif Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi menjelaskan hal itu bisa terealisasi dengan cara seperti industrialisasi, yaitu mengalihkan kebutuhan yang sebelumnya impor menjadi ekspor.
"Begitu juga dengan penambahan nilai tambah dari ekspor bahan mentah jadi yang punya nilai tambah. Artinya bisa ada perbaikan transaksi berjalan tanpa mengurangi produksi ekspor," kata Doddy ketika ditemui di Gedung DPR, Rabu (19/9/2018).
Namun, Doddy mengakui ada sektor yang tidak bisa menggantikan kebutuhan dalam negeri. Oleh sebab itu, dia berharap ada pengaruh dari kebijakan pemberian insentif ekspor dan pengendalian impor barang yang di sini bukan berguna sebagai input produksi.
Tidak hanya itu, dalam kenaikan suku bunga acuan, Doddy mencontohkan bank sentral selalu menghadirkan aturan lain yang sifatnya merelaksasi. Dengan demikian, ruang bank untuk ekspansi tetap ada.
Kemudian, Doddy menyebut langkah percepatan dalam pendalaman pasar uang dilakukan. Misal, memberi penambahan instrumen pembiayaan infrastruktur, menambah instrumen lindung nilai, likuiditas, dan lainnya yang bisa digunakan oleh sektor swasta dan pemerintah untuk membiayai kegiatan.
"Memang harga akan naik, tapi likuiditas tetap ada, instrumen tetap ada. Tapi peminat investasi masih ada, pembiayaan masih banyak," kata Doddy.
(miq/miq) Next Article Rupiah Masih Terdiskon, Ini Lho Sebabnya
Salah satu faktor utama di balik pelemahan itu adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Besaran CAD per triwulan II melebar menjadi US$ 8 miliar atau 3% dari PDB.
Perdebatan yang berkembang belakangan mengemuka seiring langkah pemerintah menekan CAD. Langkah itu dikhawatirkan menekan pertumbuhan ekonomi.
![]() |
Direktur Eksekutif Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi menjelaskan hal itu bisa terealisasi dengan cara seperti industrialisasi, yaitu mengalihkan kebutuhan yang sebelumnya impor menjadi ekspor.
Namun, Doddy mengakui ada sektor yang tidak bisa menggantikan kebutuhan dalam negeri. Oleh sebab itu, dia berharap ada pengaruh dari kebijakan pemberian insentif ekspor dan pengendalian impor barang yang di sini bukan berguna sebagai input produksi.
Tidak hanya itu, dalam kenaikan suku bunga acuan, Doddy mencontohkan bank sentral selalu menghadirkan aturan lain yang sifatnya merelaksasi. Dengan demikian, ruang bank untuk ekspansi tetap ada.
Kemudian, Doddy menyebut langkah percepatan dalam pendalaman pasar uang dilakukan. Misal, memberi penambahan instrumen pembiayaan infrastruktur, menambah instrumen lindung nilai, likuiditas, dan lainnya yang bisa digunakan oleh sektor swasta dan pemerintah untuk membiayai kegiatan.
"Memang harga akan naik, tapi likuiditas tetap ada, instrumen tetap ada. Tapi peminat investasi masih ada, pembiayaan masih banyak," kata Doddy.
(miq/miq) Next Article Rupiah Masih Terdiskon, Ini Lho Sebabnya
Most Popular