Dolar AS Sedang Bermasalah, Mampukah Rupiah Menyalip?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 September 2018 12:50
Dolar AS Sedang Bermasalah, Mampukah Rupiah Menyalip?
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah hingga tengah hari ini. Positifnya, dolar AS sudah bisa didorong ke bawah Rp 14.900. 

Pada Rabu (19/9/2018) pukul 12:21 WIB, US$ 1 diperdagangkan Rp 14.890 di pasar spot. Rupiah melemah 0,27% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah stagnan di Rp 14.850/US$. Seiring perjalanan pasar, rupiah bergerak melemah dan dolar AS sempat merasakan dinginnya level Rp 14.900. 


Namun kemudian keperkasaan dolar AS mulai mengendur. Rupiah pun mampu menipiskan pelemahannya meski masih di zona merah. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 

 

Di Asia, dolar AS yang awalnya melaju kini mulai melambat. Sejumlah mata uang utama Benua Kuning seperti rupiah bisa mengurangi kadar depresiasi, bahkan ada beberapa yang sudah berbalik menguat. 

Namun karena rupiah masih melemah 0,27%, mata uang Tanah Air menjadi yang terlemah di Asia. Disusul oleh won peso Filipina dan won Korea Selatan. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 12:22 WIB: 

 

Dolar AS masih berkutat dengan masalah. Pada pukul 12:24 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah tipis 0,07%. 

Dollar Index masih bolak-balik di zona merah dan hijau. Pasalnya, greenback sekarang malah tertekan karena perang dagang AS vs China. Padahal, tadinya isu perang dagang menjadi salah satu andalan dolar AS untuk menguat. 

Pelaku pasar mulai mencemaskan dampak friksi dagang terhadap perekonomian AS. Saat impor dari China dihambat melalui kenaikan bea masuk, maka industri dan konsumen AS malah bisa terluka. Pasalnya, bagaimana pun AS masih butuh produk-produk China, yang merupakan importir nomor 1 di Negeri Adidaya. 

Bila yang terhambat adalah pasokan bahan baku dan barang modal, maka industri di AS akan kesulitan. Kemudian jika yang dihambat adalah barang konsumsi, maka konsumen yang akan berteriak. Sebab tidak mudah mencari produk substitusi, kalaupun ada tentu butuh waktu. 

Oleh karena itu, prospek perekonomian AS bisa suram gara-gara perang dagang dengan China. Industri bisa melambat, dan inflasi juga bisa terakselerasi. Investor pun menghukum dolar AS. 


Namun greenback masih punya tenaga untuk menguat, yaitu dari kebijakan moneter yang dalam siklus ketat. The Federal Reserve/The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat The Fed bulan ini mencapai 96,8% alias hampir amat sangat pasti. Kenaikan suku bunga 25 bps diramalkan terjadi kembali pada Desember, dengan kemungkinan 82%. 

Kenaikan suku bunga acuan tentu akan mendongrak imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Oleh karena itu, arus modal akan terus tersedot ke AS selama The Fed masih dalam jalur kebijakan moneter yang tidak lagi akomodatif. Membanjirnya arus modal akan menjadi pijakan bagi apresiasi greenback. 

Untuk saat ini sentimen negatif dari perang dagang masih lebih dominan, sehingga laju dolar AS melambat. Rupiah diharapkan mampu memanfaatkan situasi ini dengan mencatat penguatan, seperti yang terjadi kemarin.


Namun jika nantinya sentimen kenaikan suku bunga menyeruak, maka bersiaplah menghadapi amukan greenback. Apalagi rapat The Fed sudah semakin dekat, yang membuat alasan untuk merapat ke dolar AS kian kuat.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular