Harga Batu Bara Terpeleset ke Level Terendah Dalam 3 Bulan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 September 2018 11:00
Harga batu bara Newcastle kontrak acuan melemah 0,40% ke US$114,15/MT pada penutupan perdagangan hari Selasa (18/9/2018).
Foto: Istimewa
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga batu bara Newcastle kontrak acuan melemah 0,40% ke US$114,15/Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Selasa (18/9/2018).

Dengan pergerakan tersebut, harga si batu hitam kini sudah terkoreksi selama 2 hari berturut-turut, sekaligus sudah menyentuh level terendahnya dalam 3 bulan terakhir atau sejak 22 Juni 2018.

Bertambahnya stok batu bara di sejumlah pembangkit listrik di China masih membebani harga batu bara. Selain itu, memanasnya tensi perang dagang AS-China juga menyuntikkan energi negatif bagi pergerakan harga batu bara kemarin.



Persepsi penurunan konsumsi batu bara China semakin nyata memasuki bulan September 2018. Menurut data China Coal Resources, stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama China kembali menanjak secara mingguan (week-to-week/WtW) ke angka 15,4 juta ton, per hari Jumat (14/9/2018). Capaian itu merupakan yang tertinggi sejak Januari 2015.

BACA: Stok Batu Bara China Naik, Harga Batu Bara Kembali Tertekan

Akibat masih tingginya level stok batu bara tersebut, pengguna akhir batu bara lantas menahan pembeliannya. Hal itu diindikasikan oleh impor batu bara China yang turun nyaris 40% WtW ke 1,98 juta ton per hari Jumat (7/9/2018), yang merupakan level terendah sejak sepekan yang berakhir 6 April, berdasarkan data dari Global Ports.

Berlalunya puncak musim panas nampaknya mulai memberikan dampak bagi menipisnya konsumsi batu bara Negeri Tirai Bambu. Sentimen ini lantas menekan harga batu bara, seiring China merupakan importir batu bara terbesar di dunia.

Meski demikian, sejatinya konsumsi batu bara China (dan beberapa negara konsumen lainnya) masih berpotensi kembali membaik. Pasalnya, musim dingin yang akan datang diperkirakan akan lebih dingin dari biasanya. Akibatnya, konsumsi batu bara sebagai bahan bakar mesin penghangat diperkirakan akan ikut melonjak. Hal ini lantas menjadi indikasi bahwa konsumsi batu bara masih akan solid setidaknya hingga akhir tahun.

Sayangnya, sentimen perang dagang ikut-ikutan jadi pemberat harga batu bara. Kemarin pagi waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan menerapkan bea masuk baru bagi importasi produk made in China senilai US$200 miliar per 24 September. Tarif yang dikenakan adalah 10%, tetapi akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.

China kemudian memutuskan untuk membalas kebijakan AS dengan membebankan bea masuk 10% untuk importasi produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku mulai 24 September.  Ada 5.207 produk AS yang masuk daftar kena bea masuk baru ini. Mulai dari gas alam cair (LNG), pesawat terbang, bubuk kakao, sampai sayuran beku.

"China terpaksa untuk merespons kebijakan AS yang proteksionistik. Kami tidak punya pilihan selain merespons dengan bea masuk," tegas pernyataan Kementerian Keuangan China, dikutip dari Reuters.

Dengan kenaikan tensi perang dagang, rencana perundingan dagang AS-China menjadi samar-samar. Pekan lalu, AS dan China sudah mengonfirmasi akan ada pertemuan membahas isu-isu perdagangan meski waktu dan tempatnya belum ditentukan. Namun kini China sedang meninjau kembali apakah mereka perlu mengirimkan delegasi pada pertemuan tersebut, menurut seorang sumber di lingkaran dalam pemerintahan, dikutip dari South China Morning Post.

Mengingat AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi, friksi di antara keduanya tentu akan mempengaruhi seluruh negara. Arus perdagangan global akan seret dan pertumbuhan ekonomi melambat.

Perlambatan arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi sama dengan penurunan permintaan energi. Potensi penurunan permintaan ini lantas menjadi beban tambahan bagi pergerakan harga batu bara kemarin. 

(RHG/gus) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular