
Asumsi Nilai Tukar Rupiah Tahun Depan: Realistis atau Tidak?
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
19 September 2018 07:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati perubahan asumsi dasar makro ekonomi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019.
Asumsi nilai tukar rupiah menjadi salah satu indikator yang disepakati untuk diubah dari sebelumnya yang sudah disepakati di Komisi XI di level Rp 14.400/US$, menjadi Rp 14.500/US$.
Keputusan tersebut tak lepas dari pandangan dari sejumlah fraksi yang mengemuka dan menganggap bahwa level nilai tukar yang sudah disepakati sebelumnya belum cukup realistis.
"Jangan katakan ini [pelemahan kurs] karena Amerika," kata Anggota Banggar Fraksi Gerindra Bambang Haryo di ruang rapat Banggar, komplek parlemen hari Selasa (18/9/2018).
"Kurs dolar terhadap Vietnam turun hanya 1%, Thailand turun tidak lebih dari 1%, Filipina turun 20%, sedangkan Indonesia turun 55%. Ini warning," tegas Bambang.
Gerindra bukan satu-satunya yang meminta perubahan itu. Anggota Banggar Fraksi PAN Nasril Bahar pun tak segan melontarkan kritikan terhadap asumsi nilai tukar yang ditetapkan pada posisi Rp 14.400/US$.
Parlemen tidak ingin penetapan asumsi nilai tukar rupiah tidak mencerminkan kondisi terkini, dan pada akhirnya hanya menjadi alat politik jelang Pemilu tahun depan.
"Asumsi butuh kepastian dari sisi nilai tukar. Pengusaha sudah serba galau. Kita sekarang masuk tahun politik, dan nilai tukar tidak menentu. Mohon berhati-hati menetapkan nilai tukar," katanya.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memahami kegelisahan parlemen terkait hal itu. Maka dari itu, tidak ada halangan berarti ketika parlemen mengusulkan asumsi nilai tukar tahun depan ditetapkan di Rp 14.500/US$.
"Ini kesepakatan politik. Tapi ini masih masuk dalam range [Bank Indonesia] yang menurut kami comfortable," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara.
Namun, kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini sudah berada di kisaran Rp 14.800/US$. Potensi tekanan lanjutan terhadap nilai tukar pun masih berlanjut, dipicu dari kondisi ekonomi global.
Ekonom Bank Central Asia David Sumual saat berbincang dengan CNBC Indonesia beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah akan sangat bergantung pada isu perang dagang AS-China.
Baru-baru ini saja, Presiden Donald Trump telah mengumumkan akan mengenakan tarif baru impor China sebesar US$20 miliar yang efektif berlaku sejak 24 September 2018 mendatang.
Ketika isu perang dagang menyeruak, aliran hot money pun akan pilih-pilih sebelum berlabuh. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, bukan tidak mungkin tidak dilirik oleh pemilik dana.
Hal tersebut, tentu bisa memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah pada tahun depan. Mata uang Garuda, pun harus berhati-hati jika tidak ingin dilibas keperkasaan dolar AS.
Terlepas dari hal tersebut, pemerintah masih cukup optimistis tekanan nilai tukar rupiah pada tahun depan tidak akan setinggi tahun ini. Hal ini yang membuat pemerintah berani mematok level rupiah yang lebih kuat.
Belum lagi, dampak dari rangkaian operasi penyelamatan rupiah dengan mewajibkan penggunaan B20, kenaikan tarif impor, serta rencana menunda proyek infrastruktur.
Berbagai kebijakan tersebut diharapkan bisa menekan defisit transaksi berjalan, yang selama ini menjadi salah satu penyebab yang membuat rupiah kehilangan pijakan untuk menguat.
(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Asumsi nilai tukar rupiah menjadi salah satu indikator yang disepakati untuk diubah dari sebelumnya yang sudah disepakati di Komisi XI di level Rp 14.400/US$, menjadi Rp 14.500/US$.
![]() |
"Kurs dolar terhadap Vietnam turun hanya 1%, Thailand turun tidak lebih dari 1%, Filipina turun 20%, sedangkan Indonesia turun 55%. Ini warning," tegas Bambang.
Gerindra bukan satu-satunya yang meminta perubahan itu. Anggota Banggar Fraksi PAN Nasril Bahar pun tak segan melontarkan kritikan terhadap asumsi nilai tukar yang ditetapkan pada posisi Rp 14.400/US$.
Parlemen tidak ingin penetapan asumsi nilai tukar rupiah tidak mencerminkan kondisi terkini, dan pada akhirnya hanya menjadi alat politik jelang Pemilu tahun depan.
"Asumsi butuh kepastian dari sisi nilai tukar. Pengusaha sudah serba galau. Kita sekarang masuk tahun politik, dan nilai tukar tidak menentu. Mohon berhati-hati menetapkan nilai tukar," katanya.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memahami kegelisahan parlemen terkait hal itu. Maka dari itu, tidak ada halangan berarti ketika parlemen mengusulkan asumsi nilai tukar tahun depan ditetapkan di Rp 14.500/US$.
"Ini kesepakatan politik. Tapi ini masih masuk dalam range [Bank Indonesia] yang menurut kami comfortable," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara.
Realistis atau tidak?
Bagi pemerintah, asumsi nilai tukar di level Rp 14.500/US$ dianggap masih cukup realistis, mengingat bank sentral memproyeksikan pergerakan nilai tukar rupiah tahun depan berada di kisaran Rp 14.300/US$ - Rp 14.700/US$.Namun, kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini sudah berada di kisaran Rp 14.800/US$. Potensi tekanan lanjutan terhadap nilai tukar pun masih berlanjut, dipicu dari kondisi ekonomi global.
Ekonom Bank Central Asia David Sumual saat berbincang dengan CNBC Indonesia beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah akan sangat bergantung pada isu perang dagang AS-China.
Baru-baru ini saja, Presiden Donald Trump telah mengumumkan akan mengenakan tarif baru impor China sebesar US$20 miliar yang efektif berlaku sejak 24 September 2018 mendatang.
Ketika isu perang dagang menyeruak, aliran hot money pun akan pilih-pilih sebelum berlabuh. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, bukan tidak mungkin tidak dilirik oleh pemilik dana.
Hal tersebut, tentu bisa memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah pada tahun depan. Mata uang Garuda, pun harus berhati-hati jika tidak ingin dilibas keperkasaan dolar AS.
Terlepas dari hal tersebut, pemerintah masih cukup optimistis tekanan nilai tukar rupiah pada tahun depan tidak akan setinggi tahun ini. Hal ini yang membuat pemerintah berani mematok level rupiah yang lebih kuat.
Belum lagi, dampak dari rangkaian operasi penyelamatan rupiah dengan mewajibkan penggunaan B20, kenaikan tarif impor, serta rencana menunda proyek infrastruktur.
Berbagai kebijakan tersebut diharapkan bisa menekan defisit transaksi berjalan, yang selama ini menjadi salah satu penyebab yang membuat rupiah kehilangan pijakan untuk menguat.
(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular