Neraca Dagang Tekor: Apa Kabar Rupiah dan Current Account?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 September 2018 11:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi semakin tertekan hari ini. Sudah dolar AS dalam tren melaju, data perdagangan kurang mendukung pula.
Pada Senin (17/8/2018) pukul 11:20 WIB, US$ 1 diperdagangkan Rp 14.885. Rupiah melemah lumayan dalam, sampai 0,57% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah memang sudah melemah tetapi 'cuma' 0,2%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian menjadi.
Kini, beban rupiah semakin berat kala Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Agustus. Ekspor tercatat naik 4,15% year-on-year (YoY) sementara impor melonjak 24,65%. Ini membuat neraca perdagangan defisit US$ 1,02 miliar.
Pencapaian ini jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 10,1% sedangkan impor naik 25% dan neraca perdagangan defisit US$ 645 juta.
Namun dibandingkan Juli 2018, kinerja perdagangan Indonesia sedikit membaik. Pada Juli, defisit perdagangan mencapai US$ 2,03 miliar karena ekspor tumbuh 19,33% YoY sementara impor melonjak 31,56% YoY.
Meski defisit perdagangan Agustus lebih baik ketimbang Juli, tetapi tetap saja jauh di atas konsensus pasar. Akibatnya, pasar keuangan Indonesia perlu waspada menghadapi ancaman aksi jual. Sebab, defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca perdagangan Juli-Agustus yang defisit lumayan dalam membuat kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan bernasib serupa dengan kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan menggambarkan devisa yang masuk ke sebuah negara dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bisa diandalkan karena relatif lebih bertahan lama (sustain) ketimbang hot money di pasar keuangan.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Saat transaksi berjalan menderita defisit, maka boleh dibilang tidak ada pijakan bagi mata uang tersebut untuk menguat karena saat ini aliran modal di sektor keuangan tersedot ke Negeri Adidaya akibat tren kenaikan suku bunga.
Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan. Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
Pada Senin (17/8/2018) pukul 11:20 WIB, US$ 1 diperdagangkan Rp 14.885. Rupiah melemah lumayan dalam, sampai 0,57% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah memang sudah melemah tetapi 'cuma' 0,2%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian menjadi.
Pencapaian ini jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 10,1% sedangkan impor naik 25% dan neraca perdagangan defisit US$ 645 juta.
Namun dibandingkan Juli 2018, kinerja perdagangan Indonesia sedikit membaik. Pada Juli, defisit perdagangan mencapai US$ 2,03 miliar karena ekspor tumbuh 19,33% YoY sementara impor melonjak 31,56% YoY.
Meski defisit perdagangan Agustus lebih baik ketimbang Juli, tetapi tetap saja jauh di atas konsensus pasar. Akibatnya, pasar keuangan Indonesia perlu waspada menghadapi ancaman aksi jual. Sebab, defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca perdagangan Juli-Agustus yang defisit lumayan dalam membuat kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan bernasib serupa dengan kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan menggambarkan devisa yang masuk ke sebuah negara dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bisa diandalkan karena relatif lebih bertahan lama (sustain) ketimbang hot money di pasar keuangan.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Saat transaksi berjalan menderita defisit, maka boleh dibilang tidak ada pijakan bagi mata uang tersebut untuk menguat karena saat ini aliran modal di sektor keuangan tersedot ke Negeri Adidaya akibat tren kenaikan suku bunga.
Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan. Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
Next Page
Faktor Eksternal Ikut Bebani Rupiah
Pages
Most Popular