
Perang Dagang Sudah, Hati-hati Ada Lagi Perang Lainnya!
Herdaru Purnomo & Alfado Agustio, CNBC Indonesia
13 September 2018 14:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Anjloknya beberapa mata uang negara-negara emerging market, mulai menimbulkan kekhawatiran terganggunya stabilitas sistem keuangan global. Mulai dari peso Argentina, lira Turki hingga real Brasil mengalami pelemahan cukup dalam. Bahkan, rupiah ikut ikutan mengalami hal tersebut.
Alhasil, negara-negara yang sebagian besar kedapatan durian runtuh ketika ekonomi AS memburuk kini berupaya untuk tetap atraktif dengan memainkan suku bunga. Apakah saat ini sudah terjadi Perang Suku Bunga Acuan?
Selain faktor penguatan dolar AS akibat kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve, faktor dari fundamental masing-masing negara juga ikut berpengaruh misalnya defisit transaksi berjalan. Negara-negara yang mata uangnya mengalami depresiasi, sebagian besar mengalami defisit transaksi berjalan.
Depresiasi yang ada, mendorong bank sentral menerapkan sikap agresif melalui kenaikan suku bunga acuannya. Tujuannya untuk melindungi depresiasi mata uang tidak terlalu dalam kedepannya. Setidaknya ada dua bank sentral yang paling agresif, yaitu Argentina dan Turki. Argentina saat ini telah menaikkan suku bunga acuan hingga ke level 60%. Sementara Turki mencapai 17,75%.
Tak terkecuali AS, kebijakan ini bagaikan perang suku bunga acuan. Siapa yang paling tinggi, maka aliran modal asing akan mampir ke sana. Bank Indonesia (BI) sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 basis poin (bps). Lantas, apakah intervensi melalui kenaikan suku bunga acuan bisa selalu diandalkan?
Fithra Faisal Hastiadi, Ekonom FEB UI mengungkapkan untuk emerging markets termasuk Indonesia memang situasinya 'cukup kering' karena ada arus modal keluar.
"Tapi menaikkan suku bunga sebenarnya tidak banyak menolong karena sekarang arus modal sedang mengarah ke safe haven assets, Yen dan US$. Kalaupun ada yang masuk, sifatnya jangka pendek, hot money," paparnya
Alhasil, negara-negara yang sebagian besar kedapatan durian runtuh ketika ekonomi AS memburuk kini berupaya untuk tetap atraktif dengan memainkan suku bunga. Apakah saat ini sudah terjadi Perang Suku Bunga Acuan?
Depresiasi yang ada, mendorong bank sentral menerapkan sikap agresif melalui kenaikan suku bunga acuannya. Tujuannya untuk melindungi depresiasi mata uang tidak terlalu dalam kedepannya. Setidaknya ada dua bank sentral yang paling agresif, yaitu Argentina dan Turki. Argentina saat ini telah menaikkan suku bunga acuan hingga ke level 60%. Sementara Turki mencapai 17,75%.
Tak terkecuali AS, kebijakan ini bagaikan perang suku bunga acuan. Siapa yang paling tinggi, maka aliran modal asing akan mampir ke sana. Bank Indonesia (BI) sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 basis poin (bps). Lantas, apakah intervensi melalui kenaikan suku bunga acuan bisa selalu diandalkan?
Fithra Faisal Hastiadi, Ekonom FEB UI mengungkapkan untuk emerging markets termasuk Indonesia memang situasinya 'cukup kering' karena ada arus modal keluar.
"Tapi menaikkan suku bunga sebenarnya tidak banyak menolong karena sekarang arus modal sedang mengarah ke safe haven assets, Yen dan US$. Kalaupun ada yang masuk, sifatnya jangka pendek, hot money," paparnya
Fokus Memperbaiki Defisit Transaksi Berjalan
Obat kenaikan suku bunga acuan memang efektif, namun hanya dalam jangka pendek. Untuk mengatasi masalah dalam jangka panjang, maka sakit yang harus disembuhkan adalah defisit transaksi berjalan. Pemerintah Indonesia saat ini sudah menerapkan berbagai cara.
Mulai dari menahan impor barang baku, menaikkan pajak impor barang konsumsi hingga mendorong devisa hasil ekspor ditaruh di dalam negeri. Cara-cara tersebut memang baik dilakukan, untuk mengurangi defisit transaksi yang ada. Di sisi lain, optimalisasi ekspor juga perlu menjadi fokus. Pasalnya, insentif bagi para eksportir khususnya UMKM sejauh ini masih kurang.
Menurut Ketua Asosiasi UMKM Ikhsan Ingratubun, jumlah UMKM yang menjadi eksportir sekitar 5% Saat pelemahan rupiah terjadi, seharusnya jadi peluang besar bagi pemerintah untuk mengangkat sektor rill. Permasalahan administrasi menjadi salah satu cara yang disoroti, Menurut Ikhsan, untuk menjadi eksportir, para UMKM harus memiliki surat izin ekspor.
Di sisi lain, risiko dari kualitas barang hingga pangsa pasar juga menjadi permasalahan lainnya. Bukan tanpa sebab, UMKM perlu mendapat perhatian lebih. Menurut Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Sarman Simanjorang, kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 60%. Oleh sebab itu, tiga masalah tadi seharusnya dapat diperbaiki secara menyeluruh oleh pemerintah.
Setidaknya, rencana Menteri Keuangan memberikan insentif berupa tax holiday. Perlu ditambah bantuan jalan keluar dari sisi administrasi. Seperti yang diketahui, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 99,9% atau mencapai 57,89 juta. Jika 20% UMKM dapat berubah haluan menjadi eksportir, devisa yang masuk cukup besar. Hal ini dimungkinan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan yang selama ini menjadi permasalahan
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru) Next Article Separah Apa Kurs Rupiah Dibandingkan Negara Emerging?
Most Popular