
Perdagangan Migas Defisit, Ini Penjelasan Jonan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 September 2018 16:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah babak belur. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah melemah 0,81% di pasar spot ke level Rp 14.930/dolar AS. Mata uang rupiah bahkan menjadi mata uang dengan depresiasi paling dalam di Asia saat itu. Selama sepekan terakhir, rupiah sudah melemah 1,36%.
Kini,rupiah tidak hanya menyentuh posisi terlemah sepanjang 2018. Namun juga menjadi yang terlemah sejak Juli 1998, kala Indonesia babak-belur dihajar krisis ekonomi-sosial-politik.
Di saat depresiasi rupiah semakin dalam seperti ini, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kembali menjadi sorotan.
CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih stabil dibandingkan investasi portofolio alias hot money, sehingga lebih bisa menopang fundamental perekonomian.
Sayangnya, neraca perdagangan barang RI di kuartal lalu tidak mampu menopang kinerja CAD. Pada kuartal II-2018, CAD Indonesia melebar menjadi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila ditarik secara historis, CAD kuartal II-2018 merupakan yang terparah dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014 sebesar 4,3% PDB.
Menurut Bank Indonesia (BI), salah satu penyebab melebarnya CAD tersebut adalah defisit neraca perdagangan migas kuartal II-2018 yang meningkat nyaris dua kali lipat dari periode yang sama tahun sebelumnya. Defisit migas menyumbang sekitar 35% dari defisit CAD.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang didapatkan oleh CNBC Indonesia, defisit perdagangan migas mencapai US$4,92 miliar (Rp75 triliun) di sepanjang semester I-2018.
Defisit sebesar itu melebar sekitar 20% dari defisit perdagangan migas semester I-2017 sebesar US$4,1 miliar (Rp61,75 triliun), dan menjadi yang tertinggi sejak semester I-2014 yang sebesar US$5,93 miliar (Rp89,31 triliun).
Penyebabnya tidak lain adalah impor migas RI yang melambung hingga 22,29% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka US$12,73 miliar (Rp191,72 triliun), pada semester I-2018. Nilai sebesar itu hanya kalah dari impor migas semester I-2014 yang sebesar US$21,03 miliar (Rp316,72 triliun).
Dengan kondisi defisit migas yang semakin melebar plus depresiasi rupiah yang semakin dalam, sudah tibakah waktu pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)? Harga BBM yang naik tentunya akan mengurangi konsumsi domestik, dan bisa menahan derasnya laju impor migas.
Apa komentar Menteri ESDM Ignasius Jonan? Berikut ulasan tim CNBC Indonesia.
Kini,rupiah tidak hanya menyentuh posisi terlemah sepanjang 2018. Namun juga menjadi yang terlemah sejak Juli 1998, kala Indonesia babak-belur dihajar krisis ekonomi-sosial-politik.
Di saat depresiasi rupiah semakin dalam seperti ini, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kembali menjadi sorotan.
Sayangnya, neraca perdagangan barang RI di kuartal lalu tidak mampu menopang kinerja CAD. Pada kuartal II-2018, CAD Indonesia melebar menjadi 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila ditarik secara historis, CAD kuartal II-2018 merupakan yang terparah dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014 sebesar 4,3% PDB.
Menurut Bank Indonesia (BI), salah satu penyebab melebarnya CAD tersebut adalah defisit neraca perdagangan migas kuartal II-2018 yang meningkat nyaris dua kali lipat dari periode yang sama tahun sebelumnya. Defisit migas menyumbang sekitar 35% dari defisit CAD.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang didapatkan oleh CNBC Indonesia, defisit perdagangan migas mencapai US$4,92 miliar (Rp75 triliun) di sepanjang semester I-2018.
Defisit sebesar itu melebar sekitar 20% dari defisit perdagangan migas semester I-2017 sebesar US$4,1 miliar (Rp61,75 triliun), dan menjadi yang tertinggi sejak semester I-2014 yang sebesar US$5,93 miliar (Rp89,31 triliun).
Penyebabnya tidak lain adalah impor migas RI yang melambung hingga 22,29% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka US$12,73 miliar (Rp191,72 triliun), pada semester I-2018. Nilai sebesar itu hanya kalah dari impor migas semester I-2014 yang sebesar US$21,03 miliar (Rp316,72 triliun).
Dengan kondisi defisit migas yang semakin melebar plus depresiasi rupiah yang semakin dalam, sudah tibakah waktu pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)? Harga BBM yang naik tentunya akan mengurangi konsumsi domestik, dan bisa menahan derasnya laju impor migas.
Apa komentar Menteri ESDM Ignasius Jonan? Berikut ulasan tim CNBC Indonesia.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular