Meneropong Nasib Rupiah Sampai Akhir Tahun dan 2019
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2018 20:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun ini, rupiah begitu menyedot perhatian pelaku ekonomi dan masyarakat pada umumnya. Pelemahan rupiah yang lumayan tajam memang menjadi hal yang sangat menarik perhatian.
Pada Selasa (4/9/2018), US$ 1 di pasar spot ditutup di Rp 14.930. Rupiah melemah 0,81% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. Dolar AS sudah di ambang Rp 15.000.
Ini menjadi level terlemah rupiah sepanjang 2018. Tidak hanya itu, dolar AS di Rp 14.930 juga yang terlemah sejak Juli 1998.
Sampai akhir tahun ini, sayangnya, masih ada peluang rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi.
Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini mencapai 98,4%. Kemudian kenaikan berikutnya diperkirakan terjadi pada Desember, dengan probabilitas 65,9%.
Setiap kali The Fed akan (atau sudah) menaikkan suku bunga, aliran modal global langsung terkonsentrasi ke Negeri Paman Sam. Kenaikan suku bunga acuan bisa membuat imbalan investasi di AS bertambah, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi. Semakin dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini diburu, nilainya semakin naik atau mahal.
Aliran dana yang terpusat di AS membuat negara-negara lain tidak kebagian. Seretnya arus modal membuat mata uang lain berpotensi melemah, termasuk rupiah.
Sementara dari dalam negeri, investor kembali menyoroti transaksi berjalan (current account) negara-negara berkembang. Berkaca dari 'huru-hara' di Turki dan Argentina, pelaku pasar cenderung menghukum negara yang menderita defisit transaksi berjalan, apalagi kalau angkanya tinggi.
Sebab dengan seretnya arus modal global karena tersedot ke AS, pasokan devisa yang tersisa memang dari transaksi berjalan alias ekspor-impor barang dan jasa. Jika transaksi berjalan mengalami defisit, maka devisa penyokong nilai tukar akan sangat terbatas sehingga sebuah mata uang sulit menguat.
Sayangnya, inilah yang terjadi pada Indonesia. Sejak 2011, Indonesia tidak pernah mengalami surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Dampaknya, rupiah seakan berdiri tanpa pijakan yang kuat.
Dua faktor itu yang membuat jalan rupiah masih berliku sampai sisa 2018. Agak sulit melihat rupiah menguat, kecuali ada intervensi besar-besaran dari bank sentral dengan konsekuensi penurunan cadangan devisa.
Pada Selasa (4/9/2018), US$ 1 di pasar spot ditutup di Rp 14.930. Rupiah melemah 0,81% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. Dolar AS sudah di ambang Rp 15.000.
Ini menjadi level terlemah rupiah sepanjang 2018. Tidak hanya itu, dolar AS di Rp 14.930 juga yang terlemah sejak Juli 1998.
Sampai akhir tahun ini, sayangnya, masih ada peluang rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi.
Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini mencapai 98,4%. Kemudian kenaikan berikutnya diperkirakan terjadi pada Desember, dengan probabilitas 65,9%.
Setiap kali The Fed akan (atau sudah) menaikkan suku bunga, aliran modal global langsung terkonsentrasi ke Negeri Paman Sam. Kenaikan suku bunga acuan bisa membuat imbalan investasi di AS bertambah, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi. Semakin dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini diburu, nilainya semakin naik atau mahal.
Aliran dana yang terpusat di AS membuat negara-negara lain tidak kebagian. Seretnya arus modal membuat mata uang lain berpotensi melemah, termasuk rupiah.
Sementara dari dalam negeri, investor kembali menyoroti transaksi berjalan (current account) negara-negara berkembang. Berkaca dari 'huru-hara' di Turki dan Argentina, pelaku pasar cenderung menghukum negara yang menderita defisit transaksi berjalan, apalagi kalau angkanya tinggi.
Sebab dengan seretnya arus modal global karena tersedot ke AS, pasokan devisa yang tersisa memang dari transaksi berjalan alias ekspor-impor barang dan jasa. Jika transaksi berjalan mengalami defisit, maka devisa penyokong nilai tukar akan sangat terbatas sehingga sebuah mata uang sulit menguat.
Sayangnya, inilah yang terjadi pada Indonesia. Sejak 2011, Indonesia tidak pernah mengalami surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Dampaknya, rupiah seakan berdiri tanpa pijakan yang kuat.
Dua faktor itu yang membuat jalan rupiah masih berliku sampai sisa 2018. Agak sulit melihat rupiah menguat, kecuali ada intervensi besar-besaran dari bank sentral dengan konsekuensi penurunan cadangan devisa.
Next Page
Tahun Depan pun Masih Berat Buat Rupiah
Pages
Most Popular