Tepatkah Membeli Saham pada September Ini?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 September 2018 14:52
Apakah bulan ini merupakan saat yang tepat untuk masuk ke pasar saham?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Agustus sudah berakhir dan perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di September sudah berlangsung selama 2 hari (3 & 4 September). Dalam 2 hari tersebut, IHSG membukukan performa negatif.

Kemarin, IHSG melemah sebesar 0,85%, menjadikannya bursa saham dengan performa terburuk di kawasan Asia. Kemudian pada hari ini hingga akhir sesi 1, IHSG kembali melemah yakni sebesar 0,72%.

Melihat performa IHSG yang jauh dari kata baik untuk mengawali bulan ini, sebuah pertanyaan pun muncul: tepatkah membeli saham pada September?

Secara historis, selama September bukan merupakan periode yang baik bagi investor saham di tanah air. Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), IHSG memberikan imbal hasil negatif yakni sebesar 0,64% MoM pada September.

Secara berturut-turut sejak 2013 hingga 2017, imbal hasil IHSG pada bulan September secara bulanan adalah 2,89%, 0,01%, -6,34%, -0,4%, dan 0,63%.

Pelemahan Rupiah Jadi Momok
Pada bulan ini, mimpi buruk bagi IHSG nampaknya akan datang dari pelemahan nilai tukar rupiah. Kini, setiap dolar AS dihargai sebesar Rp 14.897. Padalah per akhir Agustus, 1 dolar AS masih dihargai sebesar Rp 14.725.

Krisis nilai tukar di Argentina dan Turki yang masih berlanjut merupakan salah satu faktor yang menekan pergerakan rupiah. Pada perdagangan kemarin, peso melemah 2,58% melawan dolar AS di pasar spot, sementara lira melemah 1,75%. Sebagai hasilnya, mata uang dari negara-negara dengan current account deficit (CAD) yang lebar seperti Indonesia menjadi sasaran jual investor.

Pada kuartal-II kemarin, CAD Indonesia menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I, nilainya hanya sebesar 2,21% dari PDB.

Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa krisis nilai tukar di Argentina dan Turki akan segera berakhir. Pada akhirnya, ruang pelemahan rupiah masih terbuka lebar.

Kemudian, potensi pelemahan rupiah datang dari normalisasi bank sentral AS alias the Federal Reserve. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 3 September 2018, baru terdapat 65,9% kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini.

Sementara itu, kemungkinan suku bunga acuan hanya dinaikkan sebanyak 3 kali berada di level 30,1%. Ini artinya, masih cukup banyak pelaku pasar yang meragukan normalisasi sebanyak 4 kali.

Jika nantinya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali semakin menyeruak, dolar AS bisa semakin kuat dan menekan mata uang negara-negara lainnya, tak terkecuali rupiah.

Dalam kondisi seperti saat ini, investor dituntut untuk lebih selektif jika tetap ingin masuk ke pasar saham. Sejarah sudah menunjukkan kepada kita bahwa bulan ke-9 merupakan bulan yang berat untuk pelaku pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular