Dolar AS Gas Pol Tinggalkan Rupiah dan Mata Uang Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 August 2018 16:42
Dolar AS Gas Pol Tinggalkan Rupiah dan Mata Uang Asia
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah lagi-lagi melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan rupiah tidak pernah menyentuh teritori penguatan sepanjang perdagangan hari ini. 

Pada Rabu (29/8/2018), US$ 1 ditutup Rp 14.650 di pasar spot. Rupiah melemah 0,23% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah melemah tipis 0,02%. Selepas itu, depresiasinya terus menjadi meski belum menyentuh posisi terlemah tahun ini yaitu Rp 14.660/US$ di perdagangan intraday. 


Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.610/US$. Sedangkan terlemahnya adalah Rp 14.653/US$. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS sepanjang perdagangan hari ini: 



Rupiah tidak sendiri. Berbagai mata uang Asia pun tidak bertaji di hadapan greenback, tidak ada yang selamat. Rupee India menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam. Disusul oleh baht Thailand dan won Korea. 

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 16:09 WIB: 

 

Dolar AS memang sedang gas pol meninggalkan rupiah dan mata uang Benua Kuning di belakang. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia, menguat 0,15% pada pukul 16:12 WIB. 

Setidaknya ada dua sentimen utama yang mendukung penguatan dolar AS. Pertama adalah rilis data keyakinan konsumen.  

Pada Agustus, Indeks Keyakinan Konsumen versi The Conference Board ada di 133,4, mengungguli konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 126,7. Indeks yang di atas 100 menunjukkan konsumen optimistis dengan situasi ekonomi terkini. 

Sebagai informasi, pencapaian Agustus merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2000 atau nyaris 18 tahun. Ini menunjukkan konsumsi di Negeri Adidaya semakin membaik, dan tentunya berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. 

Konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 68% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di AS. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi akan sangat berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi. 

Tidak heran The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 bisa mencapai 4,6%. Lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 4,1%. 

Artinya, The Fed jadi semakin punya alasan untuk menaikkan suku bunga. Tanpa kenaikan suku bunga, perekonomian AS bisa terus melaju tanpa kendali dan menciptakan overheat

Meski berfungsi untuk mengendalikan perekonomian AS supaya baik jalannya, kenaikan suku bunga acuan punya dampak lain yaitu memancing arus modal. Dengan kenaikan suku bunga, maka imbalan berinvestasi di instrumen-instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap/fixed income) akan naik. Bagi investor yang selalu mencari cuan, ini tentu sangat menggoda. 

Aliran modal ke pasar keuangan AS otomatis membuat greenback menguat. Dolar AS pun kembali garang dan menerkam berbagai mata uang, termasuk rupiah. 


Sentimen kedua adalah kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS vs China yang bisa meletus dalam waktu dekat. Investor harap-harap cemas menanti keputusan Presiden AS Donald Trump yang berencana mengenakan bea masuk baru terhadap impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar. 

Kebijakan ini masih menjalani fase dengar pendapat yang dimulai pada 20 Agustus lalu. US Trade Representative melaporkan, sejauh ini dengar pendapat melibatkan 359 orang perwakilan dari dunia usaha. Mayoritas di antara mereka mengeluhkan kebijakan ini akan berdampak pada kenaikan harga produksi karena biaya impor bahan baku dan barang modal akan naik. 

Fase dengar pendapat akan berakhir pada 5 September dan jika mulus, bea masuk baru ini diperkirakan berlaku pada akhir bulan depan. Selain dunia usaha, Trump juga harus mendapatkan restu dari parlemen untuk menggolkan kebijakan ini. 

Bila bea masuk ini berlaku, maka berbagai produk asal China akan kena bea masuk 25%. Produk-produk tersebut antara lain ban mobil, furnitur, produk kayu, tas, makanan anjing dan kucing, sarung tangan bisbol, sampai sepeda. 

Kalau AS betul-betul menerapkan kebijakan ini, maka kemungkinan besar China pun akan membalas. Aksi 'balas pantun' ini akan terus berlangsung sebelum ada kesepakatan antara dua perekonomian terbesar di bumi tersebut. 

Oleh karena itu, wajar ketika investor masih dibuat cemas oleh isu perang dagang AS vs China. Ini membuat pelaku pasar masih cenderung bermain aman, melepas aset-aset berisiko terutama di negara berkembang.

Dolar AS menjadi tujuan karena mata uang ini dianggap sebagai instrumen investasi aman (safe haven). Akibatnya, permintaan dolar AS masih tinggi sehingga mendongkrak nilai tukar mata uang ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular