
Pengendalian Impor Bukan Satu-satunya Cara Selamatkan Rupiah
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
24 August 2018 07:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Instrumen pajak penghasilan (PPh) akan digunakan pemerintah untuk mengendalikan derasnya barang-barang impor yang selama ini menjadi penyebab defisit transaksi berjalan (CAD) bengkak.
Defisit transaksi berjalan yang tertekan menjadi salah satu alasan yang membuat pergerakan nilai tukar rupiah rentan melemah. Lonjakan impor yang cukup signifikan dalam beberapa bukan terakhir pun dianggap menjadi masalah yang harus diatasi.
Rencananya, pemerintah bakal mengenakan tarif PPh impor kepada 500 jenis barang, terutama untuk sejumlah barang yang memang memiliki substitusi impor dalam negeri. Adapun klasifikasinya adalah barang-barang impor konsumsi.
Meski demikian, pengendalian impor bukanlah satu-satunya hal yang bisa dilakukan pemerintah, untuk menekan pelebaran CAD. Ada satu hal yang sejatinya bisa diterapkan, meskipun harus diakui membutuhkan keberanian tinggi.
Lantas, apa kebijakan tersebut?
"Kebijakan impor nondevisa," ungkap Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawadi saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (24/8/2018).
Edy mengkhawatirkan pengendalian impor justru seperti proteksi dan akan memicu risiko retaliasi dari negara-negara lain. Padahal, lonjakan impor dalam beberapa bulan terakhir hanya memerlukan pengawasan.
"Jangan lupa, struktur industri kita masih banyak yang tergantung impor, baik karena perilaku korporasi, investasi, maupun perilaku komoditi impor yang menggoda karena murah maupun belum ada produksinya di dalam negeri," katanya.
"Perlu pengendalian, dalam arti peningkatan pengawasannya. Misalnya, counter trade, mengembangkan skema bilateral swap agar barang impor bisa dibayar dengan rupiah. [...] yang menjadikan kebijakan impor nondevisa," jelasnya.
Meski demikian, mantan Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomuan itu tak memungkiri dibutuhkan keberanian mengeluarkan kebijakan penggunaan impor nondevisa. Namun, hal tersebut layak dipertimbangkan.
"Tambahan kebijakan yang berani adalah impor barang konsumsi yang mau pakai devisa hasil ekspor harus ada provisi yang bisa mengompensasi biaya hedging industri produk ekspor," tegasnya.
(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Defisit transaksi berjalan yang tertekan menjadi salah satu alasan yang membuat pergerakan nilai tukar rupiah rentan melemah. Lonjakan impor yang cukup signifikan dalam beberapa bukan terakhir pun dianggap menjadi masalah yang harus diatasi.
Rencananya, pemerintah bakal mengenakan tarif PPh impor kepada 500 jenis barang, terutama untuk sejumlah barang yang memang memiliki substitusi impor dalam negeri. Adapun klasifikasinya adalah barang-barang impor konsumsi.
Lantas, apa kebijakan tersebut?
"Kebijakan impor nondevisa," ungkap Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawadi saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (24/8/2018).
Edy mengkhawatirkan pengendalian impor justru seperti proteksi dan akan memicu risiko retaliasi dari negara-negara lain. Padahal, lonjakan impor dalam beberapa bulan terakhir hanya memerlukan pengawasan.
"Jangan lupa, struktur industri kita masih banyak yang tergantung impor, baik karena perilaku korporasi, investasi, maupun perilaku komoditi impor yang menggoda karena murah maupun belum ada produksinya di dalam negeri," katanya.
"Perlu pengendalian, dalam arti peningkatan pengawasannya. Misalnya, counter trade, mengembangkan skema bilateral swap agar barang impor bisa dibayar dengan rupiah. [...] yang menjadikan kebijakan impor nondevisa," jelasnya.
Meski demikian, mantan Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomuan itu tak memungkiri dibutuhkan keberanian mengeluarkan kebijakan penggunaan impor nondevisa. Namun, hal tersebut layak dipertimbangkan.
"Tambahan kebijakan yang berani adalah impor barang konsumsi yang mau pakai devisa hasil ekspor harus ada provisi yang bisa mengompensasi biaya hedging industri produk ekspor," tegasnya.
(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular