Rupiah Betah di Rp15.600, Harga Pangan-Obat Bisa Meroket

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
06 October 2023 07:50
ilustrasi uang
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam perdagangan dua hari terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih betah di level Rp 15.600.

Level itu pun berpotensi memberikan tekanan terhadap industri domestik yang bahan baku produksinya mayoritas impor, dan harga pangan yang didatangkan dari luar negeri. Dilansir dari Refinitiv, rupiah kemarin ditutup di level Rp15.610/US$ atau menguat 0,10% terhadap dolar AS.

Posisi ini memutus tren pelemahan rupiah yang terjadi selama tiga hari beruntun meskipun masih bertengger di area Rp15.600-an. Kurs Jisdor Bank Indonesia pun masih di level Rp 15.601.

Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengungkapkan, pelemahan kurs rupiah beberapa hari terakhir tentu akan berdampak negatif pada kinerja pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku impor, mulai industri farmasi, makanan-minuman, tekstil hingga industri petrokimia.

"Sektor-sektor yang kami perkirakan akan terdampak dari adanya pelemahan rupiah yakni sektor yang mengandalkan bahan baku impor seperti Makanan dan Minuman, terutama yang banyak bahan baku impor seperti Gandum, Gula, dan Kedela, lalu sektor Farmasi, Elektronik dan Barang Elektrikal, serta Tekstil," kata Josua kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (6/10/2023).

Josua juga mengingatkan, selain berdampak terhadap industri, pelemahan rupiah juga berpotensi mendorong tekanan inflasi pangan berlanjut, terutama bila pemerintah mendorong impor-impor pangan strategis. Ujungnya adalah akan memperlemah daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi.

Hingga September 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pangan atau harga pangan bergejolak (volitile food) telah bergerak ke level 3,62% yoy, naik dari level Agustus 2023 sebesar 2,42%.

Namun, angkanya masih jauh lebih rendah dari tingkat inflasi volitile food pada Februari 2023 sebesar 7,62% yoy.

"Hal ini jelas akan berdampak negatif pada daya beli dan tingkat permintaan masyarakat. Selain itu, impor minyak juga akan lebih mahal, sehingga harga bahan bakar non-subsidi akan meningkat pula yang juga berujung pada menurunnya daya beli dan tingkat permintaan masyarakat," tegas Josua.

Sementara itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, pelemahan terhadap rupiah beberapa waktu ke belakang ini memiliki sisi positif dari aspek pengendalian impor. Terlebih, barang-barang impor dari China yang selama ini dianggap pemerintah telah mengganggu iklim usaha di tanah air.

"Pelemahan rupiah bisa membantu mengurangi arus dumping barang dari China. Sebab, kalau rupiah cenderung melemah, bisa merestriksi impor," tegas David.

Lagi pula, dia juga mengingatkan, tekanan imported inflation masih minus 11% secara tahun berjalan (ytd) hingga Agustus 2023.

Oleh sebab itu, Josua menegaskan bahwa pelemahan rupiah yang tentu akan memengaruhi aktivitas industri manufaktur yang produksinya didominasi bahan baku impor tidak akan terlalu mengganggu iklim bisnisnya.

"Sektor terkait manufaktur yang import content nya besar akan terpengaruh. Tapu positifnya, pelemahan rupiah sebetulnya tidak terlalu merugikan, sebab imported inflation masih -11%," ujar David.

Di sisi lain, David juga menganggap, pelemahan rupiah yang bergerak di kisaran Rp 15.600 per dolar AS, atau Rp 15.400-Rp 15.700 sejauh ini masih sesuai dengan fundamentalnya.

Hal ini dipengaruhi oleh tekanan harga minyak dan sentimen masih tingginya suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve, yakni Fed Fund Rate pada akhir tahun ini maupun awal tahun depan.

"Perlu dingat dolar menguat ke hampir semua emerging market, lebih karena faktor China yang sejauh ini tertekan sektor propertinya, tapi assesmentnya sejauh ini masih temporer sifatnya. Jadi tekanan perkiraannya short term ya, karena faktor China dan masih ada kemungkinan Fed Rate naik," tutur David.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular