Jokowi Perkirakan Dolar AS Rp 14.400 pada 2019, Tepatkah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 August 2018 15:02
Jokowi Perkirakan Dolar AS Rp 14.400 pada 2019, Tepatkah?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019. Salah satu hal yang menarik untuk digarisbawahi adalah asumsi makro. 

Untuk tahun depan, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di 5,3%. Sementara inflasi diperkirakan 3,5%, nilai tukar Rp 14.400/US$, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan 5,3%, harga minyak Indonesia US$ 70 barel/hari, lifting minyak 750.000 barel/hari, dan lifting gas 1,25 juta barel setara minyak/hari. 

Tahun ini, ada satu tema yang mendominasi perekonomian Indonesia yaitu nilai tukar rupiah. Sejak awal tahun, rupiah telah melemah 6,9% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Depresiasi rupiah yang cukup dalam membuat Bank Indonesia (BI) dan pemerintah satu suara, misi penyelamatan rupiah harus menjadi prioritas.
 Hingga hari ini, rata-rata nilai tukar rupiah adalah Rp 13.902,63/US$.



Hingga akhir 2018, BI memperkirakan rata-rata nilai tukar berada di kisaran Rp 13.700-14.00/US$.
 Oleh karena itu, asumsi rata-rata nilai tukar Rp 14.400/US$ untuk 2019 menunjukkan rupiah akan lebih lemah tahun depan.

Apakah asumsi itu tepat?
 

(NEXT)



Sepertinya tahun depan memang masih belum menjadi tahunnya rupiah. Sentimen eksternal maupun internal belum terlalu kondusif buat rupiah. 

Dari sisi eksternal, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan masih melanjutkan fase normalisasi kebijakan moneter. Setelah tahun ini mungkin menaikkan suku bunga sampai empat kali, kenaikan akan berlanjut pada 2019. 

BI memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali tahun depan. Artinya dalam 2 tahun, Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunga tujuh kali! 

Kenaikan suku bunga tentu akan membuat instrumen berbasis greenback semakin seksi. Selain aman, investasi di dolar AS akan memberikan imbalan yang lebih besar. Lagi-lagi arus modal akan mengarah ke Negeri Paman Sam. 

Selain kenaikan suku bunga, AS juga kemungkinan akan menawarkan hal menarik lainnya yaitu imbal hasil (yield). Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump punya kebijakan fiskal yang ambisius dengan meningkatkan belanja dan insentif pajak. Hasilnya adalah defisit anggaran Negeri Adidaya akan membengkak. 

Peningkatan defisit itu harus dibiayai dengan penerbitan surat utang yang lebih banyak. Saat pasokan obligasi AS meningkat, tentu harganya turun.

Demi memancing minat investor, pemerintah AS harus memberikan pemanis berupa imbalan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, yield obligasi negara AS diperkirakan terus meningkat. Mengutip Reuters, berdasarkan survei terhadap 62 lembaga keuangan di berbagai negara, yield obligasi AS tenor 10 tahun dalam 12 bulan ke depan diperkirakan berada di 3,28%. Hari ini, yield instrumen itu masih di kisaran 2,88%. 

Dalam satu titik, yield obligasi pemerintah AS yang tinggi akan menarik minat investor yang tergiur dengan cuan lebih besar. Ini membuat lagi-lagi arus modal akan terbang menuju AS. 

Sebenarnya tidak hanya ke AS, kemungkinan pelaku pasar juga berekspektasi Bank Sentral Eropa (ECB) akan mulai menaikkan suku bunga acuan. Mario Draghi, Presiden ECB, memberi ancer-ancer kenaikan suku bunga acuan paling cepat adalah musim panas 2019 alias pertengahan tahun. 

Artinya, AS bakal punya pesaing. Aliran modal (jika ECB benar-benar menaikkan suku bunga) juga akan berdatangan ke Benua Biru. 

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, mungkin yang tersisa hanya remah-remah. Sebab dana-dana kelas kakap tentu lebih memilih masuk ke negara-negara maju yang menawarkan stabilitas dan keamanan. Plus imbalan yang lebih tinggi karena kenaikan suku bunga acuan. 


Sementara dari dalam negeri, tetap ada risiko dari sisi transaksi berjalan (current account). Meski mulai sekarang ada langkah-langkah perbaikan, tetapi masih sulit bagi transaksi berjalan untuk mencetak surplus. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan masih mencatat defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada akhir tahun, BI memperkirakan defisit ini turun menjadi di bawah 3% dari PDB. Tapi ya masih defisit. 

Pemerintah mulai berupaya untuk menekan defisit ini. Misalnya dengan membatasi impor bahan baku dan barang modal untuk proyek-proyek yang tidak strategis. Atau mengimplementasikan kebijakan pencampuran minyak diesel/solar dengan bahan bakar nabati sebesar 20% (B20).  

Namun dampak dari kebijakan ini tidak begitu saja membalik transaksi berjalan dari defisit menjadi surplus. Sebab untuk membuatnya menjadi surplus, dibutuhkan kebijakan yang lebih struktural yaitu pembangunan industri dalam negeri untuk mendorong ekspor dan mengurangi ketergantungan impor. Ini adalah kebijakan jangka panjang, tidak bisa selesai dalam setahun.

Sementara di transaksi modal dan finansial, seperti yang sudah disebut sebelumnya, arus modal portofolio yang masuk tahun depan kemungkinan masih seret karena tersedot ke negara-negara maju. Bisa saja transaksi modal dan finansial akan sulit menambal defisit di transaksi berjalan. Dikombinasikan dengan transaksi berjalan yang masih berisiko, maka nasib Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pun menjadi penuh tanda tanya.

NPI menggambarkan arus devisa yang masuk ke Indonesia. Jika transaksi berjalan masih defisit sedangkan transaksi modal dan finansial juga cenderung kering, maka hasilnya adalah NPI terancam defisit. 

NPI yang defisit menggambarkan aliran devisa lebih banyak yang keluar dibandingkan yang masuk. Rupiah pun menjadi minim sokongan untuk menguat. Oleh karena itu, menjadi agak sulit mengharapkan rupiah perkasa. 

Dengan berbagai risiko tersebut, maka wajar adanya pemerintah memasang asumsi nilai tukar yang lebih lemah. Sebab, rupiah memang masih diliputi awan mendung yang mungkin belum sirna sampai tahun depan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular