
Kenapa Rupiah Memerah Meski BI Rate Naik Di Luar Dugaan?
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
15 August 2018 19:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) baru saja menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps ke 5,5%. Kenaikan ini sempat membawa rupiah menguat sesaat jelang penutupan meski kemudian berangsur melemah lagi.
Pada Rabu (15/8/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditutup pada Rp 14.595/US$. Rupiah melemah 0,1% dibandingkan penutupan kemarin. Padahal 1 jam jelang penutupan, rupiah berada di Rp 14.565/US$ atau menguat 0,07%.
Lantas, mengapa ini bisa terjadi? Padahal jika suku bunga acuan naikefek penguatan pun seharusnya lebih panjang. Mengacu pada teori ekonomi Interest Rate Parity, stance kebijakan BI yang lebih hawkish dibandingkan The Federal Reserve (The Fed) seharusnya memperkuat rupiah.
Sejak awal tahun, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 bps sehingga BI7-Day Reverse Repo Rate berada di posisi 5,5%. Sementara itu, The Fed terhitung baru menaikkan Fed Funda Rate 50 bps di rentang 1,75-2%.
Namun faktanya, kedigdayaan mata uang Amerika Serikat (AS) jauh lebih kuat dibandingkan Indonesia karena otoritas fiskal dan moneter di AS lagi kompak mengarahkan penguatan dolar. Presiden AS Donald Trump, misalnya, menegaskan bahwa dia ingin melihat dolar AS yang kuat.
Di sisi lain, The Fed membuka peluang kenaikan suku bunga acuan yang akan menarik dana global untuk balik ke AS, meninggalkan negara berkembang. Pada ujungnya, capital inflow ke AS ini akan mendongkrak kurs mata uang Negeri Paman Sam.
Kondisi ini ikut mempengaruhi persepsi investor global dalam mengelola dananya. Akibatnya, kenaikan suku bunga acuan di Indonesia hanya memberi dampak short term dan tak cukup membendung tren penguatan dolar AS terhadap rupiah.
Hingga pukul 16:34 WIB, Dolar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang mitra dagang utamanya) menguat 0,08%. Kondisi ini menyebabkan dampak kenaikan suku bunga acuan oleh BI kurang ampuh membawa penguatan rupiah secara seketika.
Pada Rabu (15/8/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditutup pada Rp 14.595/US$. Rupiah melemah 0,1% dibandingkan penutupan kemarin. Padahal 1 jam jelang penutupan, rupiah berada di Rp 14.565/US$ atau menguat 0,07%.
![]() |
Lantas, mengapa ini bisa terjadi? Padahal jika suku bunga acuan naikefek penguatan pun seharusnya lebih panjang. Mengacu pada teori ekonomi Interest Rate Parity, stance kebijakan BI yang lebih hawkish dibandingkan The Federal Reserve (The Fed) seharusnya memperkuat rupiah.
Sejak awal tahun, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 bps sehingga BI7-Day Reverse Repo Rate berada di posisi 5,5%. Sementara itu, The Fed terhitung baru menaikkan Fed Funda Rate 50 bps di rentang 1,75-2%.
Di sisi lain, The Fed membuka peluang kenaikan suku bunga acuan yang akan menarik dana global untuk balik ke AS, meninggalkan negara berkembang. Pada ujungnya, capital inflow ke AS ini akan mendongkrak kurs mata uang Negeri Paman Sam.
Kondisi ini ikut mempengaruhi persepsi investor global dalam mengelola dananya. Akibatnya, kenaikan suku bunga acuan di Indonesia hanya memberi dampak short term dan tak cukup membendung tren penguatan dolar AS terhadap rupiah.
Hingga pukul 16:34 WIB, Dolar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang mitra dagang utamanya) menguat 0,08%. Kondisi ini menyebabkan dampak kenaikan suku bunga acuan oleh BI kurang ampuh membawa penguatan rupiah secara seketika.
Next Page
Defisit Neraca Dagang Memberatkan Rupiah
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular