Internasional
Waspadalah! Krisis Turki Bisa Merembet ke Mana-mana
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
14 August 2018 13:08

"Kami merasakan kebingungan; ada kekhawatiran yang sangat nyata tentang terkena dampak secara global dan segala hal menjadi sangat kacau," tulis Dennis Gartman di hari Senin (13/8/2018) dalam artikel harian berjudul Gartman Letter.
Dia mengatakan krisis mata uang diperparah oleh ketegangan dengan Presiden AS Donald Trump, yang baru saja mengumumkan niatnya untuk melipatgandakan tarif terhadap Turki karena menahan pendeta berkewarganegaraan AS bernama Andrew Brunson.
"Menurut kami mencemaskan bahwa AS sudah memilih menghajar Turki ketika sedang terpuruk dan menderita kepedihan ekonomi yang parah. Namun sekali lagi, ini bukan semata-mata masalah Turki/AS; ini penyebaran yang jauh lebih luas dari Turki," tulis Gartman.
Tindakan Trump semakin membuat lira, mata uang Turki, terjerembab. Sementara, mata uang itu sudah turun karena keputusan fiskal dan moneter Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang dipertanyakan. Serangkaian kenaikan suku bunga yang didorong pemerintah juga gagal menahan depresiasi lira.
Itu adalah fakta buruk bagi para pemegang utang di Turki, yang memiliki banyak utang dengan mata uang asing tetapi aset-asetnya disimpan dengan lira yang melemah drastis. Secara total, ada sekitar US$220 miliar (Rp 3.214 triliun) utang asing untuk perusahaan dan lembaga keuangan di Turki.
"Ini tentang kredit, karena Turki sudah menjadi peminjam besar di pasar modal global selama beberapa tahun ketika berbagai bank sentral di dunia mendorong para investor untuk melakukan peregangan guna memperoleh imbal hasil," kata David Rosenberg selaku Kepala Ekonom dan Strategis di Gluskin Sheff dalam catatan pasar harian.
"Lebih dari setengah pinjaman berdenominasi mata uang asing, jadi ketika lira anjlok, ongkos pembayaran utang dan risiko default naik tak terelakkan."
Sebab krisis lebih melibatkan utang swasta ketimbang publik, IMF bisa lebih sulit menentukan bantuan pendanaan. Alasannya, moral hazard atau beban moral dari penggunaan dana IMF untuk penerbitan utang korporasi akan lebih besar.
Hasilnya sudah terasa di berbagai pasar keuangan. Saham-saham AS turun selama sesi perdagangan terakhir, sementara iShares MSCI Emerging Markets ETF terkoreksi 1,8% di sesi perdagangan siang hari Senin, meski saham-saham Turki menyumbang kurang dari 1% ke indeks itu.
Lebih spesifik, iShares MSCI Turkey ETF anjlok lebih dari 10% di tengah kekhawatiran bahwa bank-bank di kawasan itu akan menderita selama krisis. Bursa saham Turki sangat dibebani sektor keuangan, yang meliputi 27,4% kapitalisasi pasar indeks FTSE All Cap Turkey.
Terkait nilai tukar, lira terkoreksi lebih dari 8% terhadap dolar dalam perdagangan hari Senin sehingga memperdalam depresiasi mata uang itu. Nilai tukar mata uang negara berkembang juga melemah.
"Investor global sekarang menargetkan negara-negara dengan tantangan ekonomi serupa, apakah mereka mengalami pembengkakan defisit transaksi berjalan [current account deficit/CAD], tekanan inflasi ataupun utang tinggi berdenominasi mata uang asing (Brazil, Mexico, Indonesia, dan Afrika Selatan menjadi yang pertama dan terpenting)," tulis Rosenberg.
(roy)
Dia mengatakan krisis mata uang diperparah oleh ketegangan dengan Presiden AS Donald Trump, yang baru saja mengumumkan niatnya untuk melipatgandakan tarif terhadap Turki karena menahan pendeta berkewarganegaraan AS bernama Andrew Brunson.
"Menurut kami mencemaskan bahwa AS sudah memilih menghajar Turki ketika sedang terpuruk dan menderita kepedihan ekonomi yang parah. Namun sekali lagi, ini bukan semata-mata masalah Turki/AS; ini penyebaran yang jauh lebih luas dari Turki," tulis Gartman.
Itu adalah fakta buruk bagi para pemegang utang di Turki, yang memiliki banyak utang dengan mata uang asing tetapi aset-asetnya disimpan dengan lira yang melemah drastis. Secara total, ada sekitar US$220 miliar (Rp 3.214 triliun) utang asing untuk perusahaan dan lembaga keuangan di Turki.
"Ini tentang kredit, karena Turki sudah menjadi peminjam besar di pasar modal global selama beberapa tahun ketika berbagai bank sentral di dunia mendorong para investor untuk melakukan peregangan guna memperoleh imbal hasil," kata David Rosenberg selaku Kepala Ekonom dan Strategis di Gluskin Sheff dalam catatan pasar harian.
"Lebih dari setengah pinjaman berdenominasi mata uang asing, jadi ketika lira anjlok, ongkos pembayaran utang dan risiko default naik tak terelakkan."
Sebab krisis lebih melibatkan utang swasta ketimbang publik, IMF bisa lebih sulit menentukan bantuan pendanaan. Alasannya, moral hazard atau beban moral dari penggunaan dana IMF untuk penerbitan utang korporasi akan lebih besar.
Hasilnya sudah terasa di berbagai pasar keuangan. Saham-saham AS turun selama sesi perdagangan terakhir, sementara iShares MSCI Emerging Markets ETF terkoreksi 1,8% di sesi perdagangan siang hari Senin, meski saham-saham Turki menyumbang kurang dari 1% ke indeks itu.
Lebih spesifik, iShares MSCI Turkey ETF anjlok lebih dari 10% di tengah kekhawatiran bahwa bank-bank di kawasan itu akan menderita selama krisis. Bursa saham Turki sangat dibebani sektor keuangan, yang meliputi 27,4% kapitalisasi pasar indeks FTSE All Cap Turkey.
Terkait nilai tukar, lira terkoreksi lebih dari 8% terhadap dolar dalam perdagangan hari Senin sehingga memperdalam depresiasi mata uang itu. Nilai tukar mata uang negara berkembang juga melemah.
"Investor global sekarang menargetkan negara-negara dengan tantangan ekonomi serupa, apakah mereka mengalami pembengkakan defisit transaksi berjalan [current account deficit/CAD], tekanan inflasi ataupun utang tinggi berdenominasi mata uang asing (Brazil, Mexico, Indonesia, dan Afrika Selatan menjadi yang pertama dan terpenting)," tulis Rosenberg.
(roy)
Next Page
Teori kekacauan dan Italia
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular