Cermati, Menteri Jokowi Bicara Krisis Turki dan Rupiah Anjlok

Lidya Julita S & Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
14 August 2018 07:11
Cermati, Menteri Jokowi Bicara Krisis Turki dan Rupiah Anjlok
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami tekanan sejak awal tahun. Nilai Rupiah kemarin, Senin (13/8/2018), menembus level psikologis baru sebesar Rp 14.600/US$.

Ada sentimen negatif dari luar di tengah maraknya perang dagang dan rencana The Fed yang siap menaikkan bunga.

Fokus pasar tertuju pada situasi keuangan di Turki yang memburuk di mana mata uangnya, lira, kembali mencetak rekor terendah di awal perdagangan hari Senin di posisi 7,24 lira per dolar Amerika Serikat (AS). Turki didera krisis mata uang Lira.

[Gambas:Video CNBC]

Namun dari dalam negeri sendiri, posisi defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang membengkak hingga 3% di kuartal II-2018 membuat tekanan tambahan terhadap pasar dalam negeri.

Para Menteri di bawah Presiden Joko Widodo pun memberikan pernyataan terkait anjloknya rupiah dan krisis mata uang di Turki. Berikut pernyataannya :

(NEXT)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meyakini dampak pelemahan Lira seharusnya tidak menjalar ke Indonesia. Maka dari itu, apa yang terjadi dia nilai hanya bersifat sementara.

"Tapi itu sebenarnya euphoria saja, menurut saya mestinya tidak [berdampak]. Aneh saja," ujar Darmin ketika ditemui di Hotel Borobudur, Senin (13/8/2018).

Sebenernya, pelemahan nilai tukar terjadi pada banyak negara. Darmin mengatakan, berbagai negara emerging market (berkembang) juga merasakan hal yang sama.

Namun dia kembali menegaskan, apa yang terjadi di Turki adalah hal khusus. Di mana artinya, negara-negara lain seharusnya tidak begitu terdampak atas itu.

Memang, penyebab utama pelemahan Lira adalah peningkatan dua kali lipat atas tarif bea masuk alumunium dan baja dari Presiden AS Donald Trump. Namun tetap, kondisi pasar modal dan keuangan berbagai negara berguguran pada perdagangan kemarin.

Darmin tak menampik kalau dengan kondisi ini banyak pelaku pasar yang memang khawatir atas dampak keputusan Trump akan meluas. Karena ini bukan terkait perang dagang seperti dengan China atau Eropa, Darmin mengakui penyelesaian masalah antara AS dan Turki dipandang oleh investor masih dapat terus berlanjut.

Selain terdampak oleh pelemahan Lira, nilai tukar mata uang Garuda dinilai melemah karena defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang menyentuh US$ 8 miliar atau 3% dari GDP.

Untuk hal itu, Darmin mengakui CAD berada posisi yang mengkhawatirkan. "Itu agak besar, ya artinya kalau sampai 3% pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah untuk segera membuat dia turun ke bawah," kata Darmin.

Darmin menyebut jarang sekali defisit transaksi berjalan mencapai 3% sangat jarang terjadi di tingkat internasional ataupun nasional. "Itu jarang sekali sampai ke tingkat itu."

Menurut Darmin, defisit transaksi berjalan adalah persoalan yang lebih luas dan lebih sulit dari segi penanganan karena itu menyangkut barang jasa dan balas jasa dari saham dan obligasi asing yang melakukan transaksi pembelian di dalam negeri.

"Maka dari itu kebijakan yang harus dibuat lebih banyak kemungkinannya kalau urusan transaksi berjalan," ujar Darmin.

Dia menjelaskan, pemerintah akan benar-benar memperhatikan hal-hal terkait defisit transaksi perdagangan dan transaksi berjalan. Namun dia belum bisa memastikan apa yang akan dilakukan, hal itu masih akan dibahas lebih lanjut.


Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan rupiah yang melemah pada perdagangan hari ini disebabkan oleh beberapa faktor dan masih berasal dari eksternal.

Pertama, Luhut menilai bahwa krisis yang terjadi di Turki yang menyebabkan mata uang Lira terdepresiasi ikut berdampak pada pelemahan mata uang garuda. Kedua adalah kekhawatiran pasar global terkait rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.

Diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami depresiasi bahkan terpelosok hingga Rp 14.600/US$. Ini menjadi terendah sejak Oktober 2015 lalu.

"Ya, karena Amerika juga naikan suku bunga. Jadi antisipasi, kemudian Turki," ungkap Luhut di Royale Hotel Kuningan, Jakarta, Senin (13/8/2018).

Meski demikian, Luhut menilai dampak ini tidak akan lama karena Turki tidak berkaitan langsung terhadap Indonesia. Selain itu, Indonesia juga beda dengan Turki baik dari sisi fundamentalnya maupun inflasinya.

"Kalau fundamental kita enggak ada masalah," imbuhnya.

Sementara itu, ia menilai tidak hanya Indonesia yang terpengaruh. Pasalnya hampir semua negara emerging market yang terkena dampak krisis Turki. "Bukan hanya kita kan yang terpengaruh," tegasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bicara mengenai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang menembus level psikologis baru. Rupiah saat ini berada di level Rp 14.600/US$.

Saat ditemui di JS Luwansa, Sri Mulyani menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah pada hari ini tak lepas dari  sentimen yang berasal dari ketidakpastian Turki, yang merembet ke perekonomian global hingga memengaruhi Indonesia.

“Faktor berasal dari Turki menjadi muncul secara global, karena tidak dari sisi magnitude-nya yang terjadi dinamika di Turki, tapi juga karena nature atau karakter persoalan yang sebetulnya serius,” kata Sri Mulyani, Senin (13/8/2018).

“Mulai dari masalah currency-nya, juga pengaruh terhadap ekonomi domestik, dan terutama juga dimensi politik dan keamanan di sana,” tegas Sri Mulyani menambahkan.

Bagi ekonomi Indonesia sendiri, sambung dia, sejatinya saat ini masih cukup positif yang tercermin dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang menumbuhkan sedikit optimisme karena mampu tumbuh 5,2%.

Meski demikian, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu tak memungkiri, posisi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menembus level 3% memang sedikit memberikan tekanan terhadap pergerakan nilai tukar.

“Tetapi ini masih lebih rendah dibandingkan situasi pada tapper tantrum 2015 yang di atas 4%. Namun, kita tetap perlu hati-hati,” tegasnya.

Lantas, apa yang sebenarnya saat ini terjadi hingga membuat nilai tukar rupiah menembus level psikologis baru?

Waktu itu 2015 quantitative easing masih terjadi dan kenaikan suku bunga belum dilakukan, baru diungkapkan. Kalau sekarang, suku bunga sudah naik secara global, dan quantitative easing sudah mulai dikurangi,” tegasnya.

“Inilah yang menyebabkan tekanan lebih kuat terhadap berbagai mata uang di dunia,” katanya menambahkan.

Waspada, Waspada, dan Waspada !

Sri Mulyani menegaskan dampak perkembangan global terhadap ekonomi domestik jadi fokus utama pemerintah.

“Kami akan terus waspada dan terus melakukan exercise bagaimana kalau kondisi global menimbulkan dinamika yang lebih jauh tinggi lagi,” tegas Sri Mulyani di JS Luwansa, Senin (13/8/2018).

Sejak awal tahun hingga saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah jatuh hampir 8%, atau menjadi mata uang terlemah kedua di Asia setelah rupee India yang melemah 9,12%.

Sri Mulyani menegaskan, akan berupaya memperbaiki sendi-sendi perekonomian, salah satunya adalah upaya menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang pada kuartal II-2018 melebar hingga 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Berbagai langkah yang akan dilakukan, adalah mengurangi belanja pemerintah, khususnya belanja-belanja yang bersifat infrastruktur meskipun taruhannya adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil.

“Kalau expenditure reducing itu berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi, tapi skenario itu harus kita siapkan, apabila situasi akan semakin dinamis dan bergerak,” tegasnya.

Selain itu, adalah perubahan belanja barang dari yang biasanya dilakukan dengan impor dengan menggunakan produk lokal. Hal itu dilakukan, untuk menekan lonjakan impor yang selama ini menjadi momok bagi CAD.

“Ini mengenai TKDN yang selama ini sudah dilakukan, namun belum optimal. Penggunaan B20 untuk mengurangi impor minyak karena itu komponen impor cukup besar dan barang modal terutama di infrastruktur kelistrikan,” tegasnya.

“Artinya, kita bisa tetap mempertahankan dan menjaga momentum apabila yang disebut switching itu memengaruhi itu memengaruhi expenditure kita,” jelasnya.

Lantas, apa kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu terhadap posisi CAD yang tekor hingga 3% dari PDB?

“Kami waspada. Kalimat saya waspada,” tegas Sri Mulyani.


Juru Bicara Presiden Joko Widodo bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika, mengungkapkan pelebaran defisit transaksi berjalan sangat dipengaruhi oleh penurunan surplus neraca perdagangan non-migas. Pada kuartal yang sama, menurutnya, neraca perdagangan migas mencetak defisit.

Sementara, Erani memaparkan penurunan surplus neraca perdagangan nonmigas terutama disebabkan oleh naiknya impor bahan baku dan barang modal. Hal ini merupakan dampak dari kegiatan produksi dan investasi yang terus meningkat di tengah ekspor nonmigas yang turun.

“Tentu untuk hal yang terakhir itu bisa dimaknai aktivitas dunia usaha masih terus tumbuh,” ujarnya, Senin (13/8/2018).

Adapun, Erani menyebut defisit neraca perdagangan sektor migas terpengaruh oleh lonjakan harga minyak mentah dunia sepanjang kurun waktu tersebut.

Selain itu, tiga bulan kedua tahun ini juga diwarnai oleh peningkatan aktivitas konsumsi yang tinggi karena libur Lebaran dan libur tahun ajaran baru.

“Ini menggambarkan adanya daya beli masyarakat yang stabil, yang tergambar dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik hingga 5,14% (yoy) pada kuartal II-2018,” kata Erani.

Namun demikian, ia mengatakan Pemerintah akan mencoba empat langkah untuk merespons pelebaran defisit transaksi berjalan.

Pertama, Erani mengungkapkan Pemerintah akan mendorong komoditas yang berorientasi ekspor pada pasar yang spesifik. Kedua, meningkatkan perjanjian bilateral sebagai cara untuk membuka pasar baru bagi produk ekspor Indonesia.

Ketiga, mengupayakan secepatnya substitusi untuk komoditas yang telah ada di dalam negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku.

“Sementara itu, untuk perbaikan neraca pendapatan primer pemerintah terus berupaya meningkatkan realisasi PMDN untuk mengurangi transfer modal dan keuntungan ke luar Indonesia.”

Ia juga meyakini bahwa ekonomi Indonesia masih sangat menarik bagi investor maupun kegiatan investasi asing. Hal ini dibuktikan secara tidak langsung oleh tekanan yang dialami oleh rupiah akibat aktivitas musiman.

“Defisit neraca transaksi pendapatan terkait dengan pola musimannya untuk pembayaran deviden dari aktivitas PMA dan investasi portofolio.”
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular