
Capres-Cawapres Harus Punya Jurus Jitu Atasi Masalah Ekonomi
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
11 August 2018 20:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Cawapres) harus bisa merumuskan program ekonomi yang bisa mengatasi persoalan struktural dan fundemental ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang sangat rentan tekanan terus jadi persoalan dan harus ada jalan keluar mengatasinya agar pertumbuhan ekonomi Indonesia benar-benar solid.
Pemaparan program pembangunan ekonomi oleh Capres dan Cawapres akan menjadi kunci untuk merebut suara pemilih. Pasalnya pemilih mulai bosan dengan kampanye program ekonomi yang populis dan tidak menyentuh kepada kepada persoalan mendasar.
Hal tersebut disampaikan para pengamat ekonomi setelah kemarin dua pasangan capres dan cawapres resmi mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencalonkan diri sebagai presiden dengan pendampin Ma'ruf Amin Ketua Majelis Ulama Indoensia (MUI). Sementara itu, Prabowo Subianto Ketua Partai Gerindra juga kembali mencalonkan diri dengan pendamping Sandiaga Uno Wakil Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Merespons pencalonan tersebut Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan kedua capres-cawapres punya pekerjaan besar dalam bidang ekonomi karena Indonesia punya persoalan struktural yang membuat ekonomi Indonesia rentan tekanan. Setelah krisis ekonomi pada 1998, pemerintahan di era reformasi lebih fokus membangun industri hilir tetapi tidak membenahi industri di sektor hulun dan tengah.
"Ini semua efek dari paska krisis dimana pemeritnah lebih fokus pada sektor hilir dan tidak menahi sektor hulu dan tengah. Akibatnya, saat kita punya kebutuhan yang besar terhadap produk-produk tersebut, kita tidak siap dan harus impor lagi,"kata Lana.
Oleh karena itu, pasangan capres-cawapres harus bisa menjabarkan program untuk menentukan arah pembangunan ekonomi dalam kampanye.
Beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan bagi pasangan capres-cawapres, antara lain bagaimana membangun industri substitusi Impor. Ketergantungan terhadap bahan baku impor semakin hari semakin tinggi karena peningkatan daya beli masyarakat.
Pada saat nilai impor tinggi, otomatis akan menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Depresiasi nilai tukar rupiah tersebut otomatis akan menekan kinerja korporasi yang biasany akan ditransmisikan ke konsumen.
"Contohnya obat. Sampai sekarang kita masih impor bahan bakunya. Kenapa tidak kita bangun pabrik bahan baku obat di Indonesia. Lalu kita punya sumber daya alam yang banyak kenapa tidak kita buat produk yang punya added value (nilai tambah)," kata Lana.
"Kita memang sering bicarakan soal add value, coba diimplemtasikan dengan membuat smelter dan ternyata di lapangan faktanya mahal untuk investasi. Tapi kita tidak boleh berhenti disitu, kita bisa buat added value hasil sumber daya alam kita yang lain, nanas dari Lampung misalnya," kata Lana.
Selain itu, lanjut Lana, capres-cawapres harus punya cara untuk mengurangi impor pangan dengan melakukan swasembada pangan. Indonesia saat ini memang sudah bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi belum mampu untuk menyiapkan stok sehingga tidak bisa meredam gejolak harga.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga harus bisa memperbaiki nilai tukar petani agar hasil yang didapat bisa menopang kehidupan yang layak. "Kalau tidak mana ada yang mau jadi petani lagi," tambah Lana.
Selanjutnya, pemerintah juga harus punya program jitu dalam bidang ketahanan energi. Impor minyak menjadi salah satu masalah besar yang menghantui neraca pembayaran.
Salah satu caranya yang paling memungkinkan adalah menahan konsumsi dengan membangun lebih banyak sarana transportasi publik seperti LRT dan MRT di daerah-daerah. Sementara itu, membangun kilang didalam negeri, untuk mengurangi impor dinilai tidak bisa jadi alternatif jangka pendek, karena anggaran pemerintah yang terbatas.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat ekonomi maritim. Indonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat besar, yang potensial untuk dieskpor dan menambah devisa negara.
Pengembangan ekonomi syariah juga menjanjikan untuk Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar. "Pak Jokowi punya calon wakil presiden yang ahli dalam bidang ekonomi syariah. Masak orang arab lebih senang berinvestasi di London, seharusnya kita bisa memanfaatkan itu," tambah Lana.
Terakhir, Lana menyampaikan, sektor pariwisata juga punya potensi yang sangat besar. "Tinggal undang saja ahli desain untuk buat tempat wisata yang menarik. Lalu buar juga desain besarnya untuk membangun industri pariwisata," pungkas Lana.
Tahan DHE
Sementara itu, pengamat ekonomi dan pasar keuangan dari Universitas Indoensia Budi Frensidy menambahkan Untuk jangka pendek, tantangan bagi capres dan cawapres adalah bagamana meningkatkan cadangan devisa. Caranya, membuat insentif agar seluruh Devisa Hasil Ekspor (DHE) bisa masuk ke sistem perbankan Indonesia atau Bank Indonesia (BI) dalam kurun waktu enam bulan.
"Akan lebh baik lagi jika DHE itu dikonversikan ke rupiah," kata Budi.
Selain itu, mengurangi defisit neraca jasa dan membuat neraca dagang surplus utk membuat defisit transaksi berjalan turun. Budi menjelaskan caranya, Indonesia harus menggenjot ekspor barang dan jasa dam menekan impor barang dan jasa.
"Menggenjot turis masuk Indonesia juga bisa salah satu tantangan utk memperbaiki neraca jasa atau meningkatkan supply dolar AS dan pada saat yg sama juga meningkatkan demand terhadap rupiah," jelas Budi
(hps) Next Article Cawapres Kurang Populer Bagi Investor, IHSG Bertahan Merah
Pemaparan program pembangunan ekonomi oleh Capres dan Cawapres akan menjadi kunci untuk merebut suara pemilih. Pasalnya pemilih mulai bosan dengan kampanye program ekonomi yang populis dan tidak menyentuh kepada kepada persoalan mendasar.
Hal tersebut disampaikan para pengamat ekonomi setelah kemarin dua pasangan capres dan cawapres resmi mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Merespons pencalonan tersebut Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan kedua capres-cawapres punya pekerjaan besar dalam bidang ekonomi karena Indonesia punya persoalan struktural yang membuat ekonomi Indonesia rentan tekanan. Setelah krisis ekonomi pada 1998, pemerintahan di era reformasi lebih fokus membangun industri hilir tetapi tidak membenahi industri di sektor hulun dan tengah.
"Ini semua efek dari paska krisis dimana pemeritnah lebih fokus pada sektor hilir dan tidak menahi sektor hulu dan tengah. Akibatnya, saat kita punya kebutuhan yang besar terhadap produk-produk tersebut, kita tidak siap dan harus impor lagi,"kata Lana.
Oleh karena itu, pasangan capres-cawapres harus bisa menjabarkan program untuk menentukan arah pembangunan ekonomi dalam kampanye.
Beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan bagi pasangan capres-cawapres, antara lain bagaimana membangun industri substitusi Impor. Ketergantungan terhadap bahan baku impor semakin hari semakin tinggi karena peningkatan daya beli masyarakat.
Pada saat nilai impor tinggi, otomatis akan menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Depresiasi nilai tukar rupiah tersebut otomatis akan menekan kinerja korporasi yang biasany akan ditransmisikan ke konsumen.
"Contohnya obat. Sampai sekarang kita masih impor bahan bakunya. Kenapa tidak kita bangun pabrik bahan baku obat di Indonesia. Lalu kita punya sumber daya alam yang banyak kenapa tidak kita buat produk yang punya added value (nilai tambah)," kata Lana.
"Kita memang sering bicarakan soal add value, coba diimplemtasikan dengan membuat smelter dan ternyata di lapangan faktanya mahal untuk investasi. Tapi kita tidak boleh berhenti disitu, kita bisa buat added value hasil sumber daya alam kita yang lain, nanas dari Lampung misalnya," kata Lana.
Selain itu, lanjut Lana, capres-cawapres harus punya cara untuk mengurangi impor pangan dengan melakukan swasembada pangan. Indonesia saat ini memang sudah bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi belum mampu untuk menyiapkan stok sehingga tidak bisa meredam gejolak harga.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga harus bisa memperbaiki nilai tukar petani agar hasil yang didapat bisa menopang kehidupan yang layak. "Kalau tidak mana ada yang mau jadi petani lagi," tambah Lana.
Selanjutnya, pemerintah juga harus punya program jitu dalam bidang ketahanan energi. Impor minyak menjadi salah satu masalah besar yang menghantui neraca pembayaran.
Salah satu caranya yang paling memungkinkan adalah menahan konsumsi dengan membangun lebih banyak sarana transportasi publik seperti LRT dan MRT di daerah-daerah. Sementara itu, membangun kilang didalam negeri, untuk mengurangi impor dinilai tidak bisa jadi alternatif jangka pendek, karena anggaran pemerintah yang terbatas.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat ekonomi maritim. Indonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat besar, yang potensial untuk dieskpor dan menambah devisa negara.
Pengembangan ekonomi syariah juga menjanjikan untuk Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar. "Pak Jokowi punya calon wakil presiden yang ahli dalam bidang ekonomi syariah. Masak orang arab lebih senang berinvestasi di London, seharusnya kita bisa memanfaatkan itu," tambah Lana.
Terakhir, Lana menyampaikan, sektor pariwisata juga punya potensi yang sangat besar. "Tinggal undang saja ahli desain untuk buat tempat wisata yang menarik. Lalu buar juga desain besarnya untuk membangun industri pariwisata," pungkas Lana.
Tahan DHE
Sementara itu, pengamat ekonomi dan pasar keuangan dari Universitas Indoensia Budi Frensidy menambahkan Untuk jangka pendek, tantangan bagi capres dan cawapres adalah bagamana meningkatkan cadangan devisa. Caranya, membuat insentif agar seluruh Devisa Hasil Ekspor (DHE) bisa masuk ke sistem perbankan Indonesia atau Bank Indonesia (BI) dalam kurun waktu enam bulan.
"Akan lebh baik lagi jika DHE itu dikonversikan ke rupiah," kata Budi.
Selain itu, mengurangi defisit neraca jasa dan membuat neraca dagang surplus utk membuat defisit transaksi berjalan turun. Budi menjelaskan caranya, Indonesia harus menggenjot ekspor barang dan jasa dam menekan impor barang dan jasa.
"Menggenjot turis masuk Indonesia juga bisa salah satu tantangan utk memperbaiki neraca jasa atau meningkatkan supply dolar AS dan pada saat yg sama juga meningkatkan demand terhadap rupiah," jelas Budi
(hps) Next Article Cawapres Kurang Populer Bagi Investor, IHSG Bertahan Merah
Most Popular