Waspada! Tekanan Terhadap NPI Berpotensi Hingga Akhir Tahun

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 August 2018 14:58
Memasuki 2 kuartal terakhir tahun ini, defisit NPI sangat mungkin melebar.
Foto: REUTERS/Lucy Nicholson
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) lagi-lagi defisit. Sepanjang kuartal-II 2018, Bank Indonesia (BI) mencatat defisit NPI sebesar US$ 4,31 miliar. Defisit NPI menandakan bahwa dolar AS yang keluar dari dalam negeri lebih besar ketimbang yang diterima.

Defisit pada kuartal-II juga membengkak dari defisit kuartal-I 2018 yang sebesar US$ 3,86 miliar.

Membengkaknya defisit NPI disebabkan oleh membengkaknya defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) yang menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB.

Capaian ini terbilang cukup bersejarah. Pasalnya, kali terakhir CAD menyentuh level 3% dari PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam.

Pada 3 bulan kedua tahun ini, nilai nominal dari CAD mencapai US$ 8,03 miliar, sementara pada kuartal-I nilainya hanya sebesar US$ 5,72 miliar.

Memasuki 2 kuartal terakhir tahun ini, periode terburuk bisa dibilang belum usai. Defisit NPI sangat mungkin melebar.

Tertolong Transaksi Finansial
Pada kuartal-II, tekanan pada NPI tertolong oleh surplus neraca transaksi finansial yang mencapai US$ 4,02 miliar, lebih tinggi dibandingkan surplus pada kuartal-I yang sebesar US$ 2,39 miliar.

Tingginya surplus neraca transaksi finansial salah satunya dimotori oleh pos investasi portfolio yang mencatat surplus sebesar US$ 53 juta. Walaupun kecil, nilainya jauh membaik dibandingkan periode kuartal-I yang membukukan defisit sebesar US$ 1,15 miliar.

Pada kuartal-III dan IV, CAD kemungkinan masih akan tinggi, seiring dengan tingginya penyerapan anggaran belanja pemerintah pada periode tersebut serta konsumsi masyarakat yang kemungkinan juga masih akan tinggi. Celakanya, neraca transaksi finansial mungkin tak bisa lagi diharapkan dalam menopang NPI Indonesia.

Dari sisi pos investasi langsung, pelemahan rupiah akan membuat investor enggan menanamkan dolar AS di dalam negeri. Hal tersebut bahkan diakui oleh Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong.

"Kalau dari kacamata pengusaha, kalau mereka tidak yakin rupiah stabil, ya mereka tunggu misalnya 6 bulan lagi, siapa tahu bisa dapat lebih murah," ujar Lembong.

Tren perlambatan investasi sebenarnya sudah telihat dari turunnya surplus pos investasi langsung menjadi US$ 2,49 miliar pada kuartal-II, dari yang sebelumnya US$ 2,93 miliar pada kuartal-I.

Dari rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II, tren perlambatan investasi juga sangat terlihat. Sepanjang kuartal-II, komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau yang biasa disebut investasi hanya tumbuh sebesar 5,87% YoY.

Padahal dalam tiga kuartal sebelumnya, pertumbuhannya selalui melampaui level 7%. Pada kuartal-I misalnya, pertumbuhannya mencapai 7,95% YoY.

Dengan kondisi saat ini, Lembong belum berani menyebut realisasi investasi kuartal-II sebagai titik terendah. Lembong bahkan mengatakan tantangan dalam 6 bulan ke depan lebih berat.

"Tren global itu lebih berat, bukan lebih enteng," ujar pria lulusan Harvard University tersebut.

Lebih lanjut, tekanan terhadap rupiah berpotensi membuat pos investasi portfolio yang pada kuartal-II kemarin hanya mencatatkan sedikit surplus menjadi defisit. Apalagi, imbal hasil obligasi AS sedang berada dalam tren naik.

Per akhir perdagangan kemarin (10/8/2018), imbal hasil obligasi terbitan pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat di level 2,86%, lebih tinggi dari posisi akhir 2017 yang sebesar 2,41%.

Jika imbal hasil obligasi AS terus naik dan rupiah terus melemah, investor akan tergiur untuk meninggalkan pasar keuangan Indonesia dan melarikan dananya ke AS.

Pada akhirnya, defisit NPI bisa semakin parah dan nasib rupiah menjadi semakin tak jelas.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article CAD Membaik, Neraca Pembayaran Indonesia Q1 Diramal Surplus

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular