
Deindustrialisasi
Siapapun 'The Next President', Ini PR Krusial Ekonomi RI
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
10 August 2018 20:04
Ketiga, pelemahan rupiah yang persisten. Seiring peran industri pengolahan yang begitu krusial, perlu dicari langkah-langkah strategis untuk membuat sektor ini kembali menjadi primadona. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang masif akan merangsang pertumbuhan pembangunan industri pengolahan. Pasalnya, percuma membangun industri jika tidak ada kelistrikan, jalan, atau pelabuhan yang mendukung. Tanpa jaringan infrastruktur yang kuat, investor pun enggan menanamkan modalnya di tanah air. Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah berlari di jalur yang tepat.
Demi infrastruktur, Jokowi berani melakukan revolusi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mantan Walikota Solo itu berani mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara masif, dan mengalihkannya ke belanja infrastruktur. Namun karena pembangunan infrastruktur Indonesia sering dibilang sudah terlambat, kebutuhannya pun membengkak.
Sementara kebutuhan bahan baku maupun barang modal untuk pembangunan infrastruktur belum bisa seluruhnya dipasok oleh industri dalam negeri. Akibatnya, importasi untuk keperluan infrastruktur pun meningkat. Dari sinilah ambisi infrastruktur Jokowi menemui hambatan besar. Hambatan itu bernama pelemahan rupiah. Sejak awal tahun, mata uang garuda telah terdepresiasi sebesar 6,19%. Di antara mata uang utama Asia, hanya Rupee India yang mengalami pelemahan lebih dalam.
Dolar AS memang cenderung perkasa di tahun ini. Di sepanjang tahun ini, Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, sudah menguat sebesar 3,67%. Hal ini tidak lepas dari kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 4 kali pada tahun ini, lebih banyak dari perkiraan awal sebanyak 3 kali.
Kemungkinan kenaikan suku bunga yang agresif ini lantas menjadi bahan bakar bagi meroketnya dolar AS. Mata uang di kawasan Asia pun tertekan, tak terkecuali rupiah. Depresiasi rupiah menjadi tantangan besar dalam pengelolaan ekonomi nasional. Di bidang perdagangan, pelemahan rupiah hanya membawa beban karena tidak mendongkrak kinerja ekspor dan menambah biaya impor. Semakin mahalnya biaya impor tercermin dari indeks harga impor yang terusĀ menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Mei 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,78% secara bulanan (month-to-month/MtM), atau 8,48% secara YoY.
Akhirnya, untuk mencegah rupiah makin terpuruk, Jokowi terpaksa mengerem pembangunan infrastrukturnya. Selama rupiah terus melemah, dan bahan baku/barang modal untuk infrastruktur tak mampu dipasok dalam negeri, ambisi infrastruktur orang presiden ke-7 RI ini pun menghadapi rintangan besar. Sebagai tambahan, pelemahan rupiah juga bukan kabar gembira bagi pasar keuangan.
Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Investor asing cenderung keluar saat rupiah melemah. Ini menjadi salah satu penyebab nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 48,76 triliun sejak awal tahun. Padahal sepanjang 2017, jual bersih investor asing 'hanya' Rp 39,9 triliun.
(RHG/dru)
Demi infrastruktur, Jokowi berani melakukan revolusi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mantan Walikota Solo itu berani mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara masif, dan mengalihkannya ke belanja infrastruktur. Namun karena pembangunan infrastruktur Indonesia sering dibilang sudah terlambat, kebutuhannya pun membengkak.
Sementara kebutuhan bahan baku maupun barang modal untuk pembangunan infrastruktur belum bisa seluruhnya dipasok oleh industri dalam negeri. Akibatnya, importasi untuk keperluan infrastruktur pun meningkat. Dari sinilah ambisi infrastruktur Jokowi menemui hambatan besar. Hambatan itu bernama pelemahan rupiah. Sejak awal tahun, mata uang garuda telah terdepresiasi sebesar 6,19%. Di antara mata uang utama Asia, hanya Rupee India yang mengalami pelemahan lebih dalam.
Dolar AS memang cenderung perkasa di tahun ini. Di sepanjang tahun ini, Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, sudah menguat sebesar 3,67%. Hal ini tidak lepas dari kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 4 kali pada tahun ini, lebih banyak dari perkiraan awal sebanyak 3 kali.
Kemungkinan kenaikan suku bunga yang agresif ini lantas menjadi bahan bakar bagi meroketnya dolar AS. Mata uang di kawasan Asia pun tertekan, tak terkecuali rupiah. Depresiasi rupiah menjadi tantangan besar dalam pengelolaan ekonomi nasional. Di bidang perdagangan, pelemahan rupiah hanya membawa beban karena tidak mendongkrak kinerja ekspor dan menambah biaya impor. Semakin mahalnya biaya impor tercermin dari indeks harga impor yang terusĀ menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Mei 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,78% secara bulanan (month-to-month/MtM), atau 8,48% secara YoY.
Akhirnya, untuk mencegah rupiah makin terpuruk, Jokowi terpaksa mengerem pembangunan infrastrukturnya. Selama rupiah terus melemah, dan bahan baku/barang modal untuk infrastruktur tak mampu dipasok dalam negeri, ambisi infrastruktur orang presiden ke-7 RI ini pun menghadapi rintangan besar. Sebagai tambahan, pelemahan rupiah juga bukan kabar gembira bagi pasar keuangan.
Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Investor asing cenderung keluar saat rupiah melemah. Ini menjadi salah satu penyebab nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 48,76 triliun sejak awal tahun. Padahal sepanjang 2017, jual bersih investor asing 'hanya' Rp 39,9 triliun.
(RHG/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular