Deindustrialisasi

Siapapun 'The Next President', Ini PR Krusial Ekonomi RI

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
10 August 2018 20:04
Siapapun 'The Next President', Ini PR Krusial Ekonomi RI
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC IndonesiaHari ini dua pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) sudah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk saling beradu dalam ajang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019.

Pasangan itu adalah Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dinamika politik ini cukup menarik untuk dunia usaha dan ekonomi di Indonesia.

Di kubu Jokowi, terpilihnya Ma'ruf Amin bisa disikapi dari dua kacamata. Pertama, Ma'ruf bukanlah sosok yang memahami persoalan ekonomi secara keseluruhan. Dia juga sudah terlalu sepuh dan kurang populer di kalangan muda yang jumlahnya lebih dari separuh total pemilih.

Namun, di sisi lain, keputusan Jokowi bisa membawa angin segar karena menghadirkan win-win solution untuk partai koalisi. Dipilhnya Ma'ruf juga dapat menjadi benteng yang kuat dalam meredam gejolak politisasi agama yang berkecamuk dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Seperti diketahui, gejolak politik memang menjadi musuh utama investasi.

Sementara di kubu Prabowo, terpilihnya  Sandiaga tidak terlalu mengejutkan karena sudah santer dibicarakan sebelumnya. Dari sisi ekonomi, Sandiaga lebih populer karena dia adalah sosok pengusaha yang pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pada 2005-2008. 

Meski demikian, perlu dicatat bahwa siapapun pasangannya, atau siapapun pemenang kontestasi pemilu mendatang, sejatinya akan dihadapkan pada Pekerjaan Rumah (PR) utama yang saat ini sedang menggelantungi ekonomi tanah air. Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia.

Pertama, deindustrialisasi yang saat ini sedang melanda Indonesia. Sebagai catatan, masalah ini seakan merupakan penyakit menahun negeri tercinta ini. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.

Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.



Situasi ini kemungkinan berlanjut di tahun ini. Per kuartal I-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%. Lantas, mengapa Indonesia bisa terjangkit penyakit deindustrialisasi ini?

Salah satu penyebab utamanya adalah investasi ke sektor ini yang cenderung menunjukkan tren perlambatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor ini sudah membukukan penurunan sebesar 17,09% atau dari US$15,86 miliar pada 2013 turun menjadi US$13,15 miliar (Rp 184,10 triliun) pada 2017.

Memang nilainya sempat melambung ke US$16,69 miliar pada 2016, namun keperkasaan itu tak berlangsung lama. Pada 2017 PMA di sektor manufaktur kembali jeblok. Bahkan, penurunan PMA berpotensi berlanjut di tahun ini. Pasalnya, investasi di sektor industri pengolahan di kuartal I-2018 hanya tercatat sebesar US$3,09 miliar (Rp 43,23 triliun). Jumlah itu berkurang 4,53% dari capaian kuartal I-2017 yang sebesar US$ 3,23 miliar (Rp45,28 triliun).

(NEXT)

Kedua, bengkaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Isu deindustrialisasi yang dibahas sebelumnya akhirnya berdampak pada semakin parahnya defisit neraca perdagangan tanah air. Mengutip laporan Bank Indonesia (BI), CAD pada kuartal II-2018 membengkak menjadi US$8 miliar atau 3% dari PDB RI.

Apabila ditarik secara historis, CAD kuartal II-2018 merupakan yang terparah dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014 sebesar 4,3% PDB. Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih stabil dibandingkan investasi portofolio alias hot money, sehingga lebih bisa menopang fundamental perekonomian.

Lalu apa hubungannya industrialisasi dengan CAD yang bengkak? Perlu diketahui bahwa pembengkakan CAD di kuartal lalu didorong oleh turunnya surplus neraca perdagangan non-migas, di tengah naiknya defisit neraca perdagangan migas. Neraca non-migas kuartal lalu mencatat surplus US$3 miliar, anjlok 53,2% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, neraca migas mencatat defisit sebesar US$2,7 miliar, meningkat nyari dua kali lipat dari capaian kuartal II-2017 sebesar US$1,5 miliar.



Dilihat dari rinciannya, pembengkakan impor non migas terjadi pada melesatnya impor komoditas bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur. Sebagai contohnya, pada kuartal II-2018, impor mesin-mesin/pesawat mekanik naik 37,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih cepat dari perlambatan sebesar -12,4% YoY pada kuartal II-2017.

Tidak hanya itu, impor alat listrik, bahan kimia, impor kendaraan dan bagiannya, dan impor tekstil juga mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih cepat apabila dibandingkan periode April-Juni 2017. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca migas didorong oleh net ekspor minyak yang mencatat defisit US$4,4 miliar di kuartal II-2018, naik 51,72% YoY.

Di sinilah lemahnya industri dalam negeri memakan korban. Barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri, akibat inferiornya sektor industri pengolahan. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam. Tidak hanya itu, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia.

Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Akibatnya, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.
Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 4% lebih di sepanjang kuartal II-2018. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia.

Setali tiga uang dengan harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 4% di periode yang sama.
Saat ekspor lesu, sementara impor barang-barang melambung pesat, otomatis neraca perdagangan barang pun tidak tertolong. Hal ini lantas menjadi pendorong jebolnya CAD di kuartal lalu.
Ketiga, pelemahan rupiah yang persisten. Seiring peran industri pengolahan yang begitu krusial, perlu dicari langkah-langkah strategis untuk membuat sektor ini kembali menjadi primadona. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang masif akan merangsang pertumbuhan pembangunan industri pengolahan. Pasalnya, percuma membangun industri jika tidak ada kelistrikan, jalan, atau pelabuhan yang mendukung. Tanpa jaringan infrastruktur yang kuat, investor pun enggan menanamkan modalnya di tanah air. Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah berlari di jalur yang tepat.

Demi infrastruktur, Jokowi berani melakukan revolusi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mantan Walikota Solo itu berani mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara masif, dan mengalihkannya ke belanja infrastruktur.
Namun karena pembangunan infrastruktur Indonesia sering dibilang sudah terlambat, kebutuhannya pun membengkak.

Sementara kebutuhan bahan baku maupun barang modal untuk pembangunan infrastruktur belum bisa seluruhnya dipasok oleh industri dalam negeri. Akibatnya, importasi untuk keperluan infrastruktur pun meningkat.
Dari sinilah ambisi infrastruktur Jokowi menemui hambatan besar. Hambatan itu bernama pelemahan rupiah. Sejak awal tahun, mata uang garuda telah terdepresiasi sebesar 6,19%. Di antara mata uang utama Asia, hanya Rupee India yang mengalami pelemahan lebih dalam.



Dolar AS memang cenderung perkasa di tahun ini. Di sepanjang tahun ini, Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, sudah menguat sebesar 3,67%. Hal ini tidak lepas dari kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 4 kali pada tahun ini, lebih banyak dari perkiraan awal sebanyak 3 kali.

Kemungkinan kenaikan suku bunga yang agresif ini lantas menjadi bahan bakar bagi meroketnya dolar AS. Mata uang di kawasan Asia pun tertekan, tak terkecuali rupiah. Depresiasi rupiah menjadi tantangan besar dalam pengelolaan ekonomi nasional. Di bidang perdagangan, pelemahan rupiah hanya membawa beban karena tidak mendongkrak kinerja ekspor dan menambah biaya impor. Semakin mahalnya biaya impor tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Mei 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,78% secara bulanan (month-to-month/MtM), atau 8,48% secara YoY.



Akhirnya, untuk mencegah rupiah makin terpuruk, Jokowi terpaksa mengerem pembangunan infrastrukturnya. Selama rupiah terus melemah, dan bahan baku/barang modal untuk infrastruktur tak mampu dipasok dalam negeri, ambisi infrastruktur orang presiden ke-7 RI ini pun menghadapi rintangan besar. Sebagai tambahan, pelemahan rupiah juga bukan kabar gembira bagi pasar keuangan.

Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS.
Investor asing cenderung keluar saat rupiah melemah. Ini menjadi salah satu penyebab nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 48,76 triliun sejak awal tahun. Padahal sepanjang 2017, jual bersih investor asing 'hanya' Rp 39,9 triliun.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular