Deindustrialisasi

Siapapun 'The Next President', Ini PR Krusial Ekonomi RI

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
10 August 2018 20:04
Bengkaknya CAD Akibat Industri yang Loyo
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Kedua, bengkaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Isu deindustrialisasi yang dibahas sebelumnya akhirnya berdampak pada semakin parahnya defisit neraca perdagangan tanah air. Mengutip laporan Bank Indonesia (BI), CAD pada kuartal II-2018 membengkak menjadi US$8 miliar atau 3% dari PDB RI.

Apabila ditarik secara historis, CAD kuartal II-2018 merupakan yang terparah dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014 sebesar 4,3% PDB. Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih stabil dibandingkan investasi portofolio alias hot money, sehingga lebih bisa menopang fundamental perekonomian.

Lalu apa hubungannya industrialisasi dengan CAD yang bengkak? Perlu diketahui bahwa pembengkakan CAD di kuartal lalu didorong oleh turunnya surplus neraca perdagangan non-migas, di tengah naiknya defisit neraca perdagangan migas. Neraca non-migas kuartal lalu mencatat surplus US$3 miliar, anjlok 53,2% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, neraca migas mencatat defisit sebesar US$2,7 miliar, meningkat nyari dua kali lipat dari capaian kuartal II-2017 sebesar US$1,5 miliar.



Dilihat dari rinciannya, pembengkakan impor non migas terjadi pada melesatnya impor komoditas bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur. Sebagai contohnya, pada kuartal II-2018, impor mesin-mesin/pesawat mekanik naik 37,5% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih cepat dari perlambatan sebesar -12,4% YoY pada kuartal II-2017.

Tidak hanya itu, impor alat listrik, bahan kimia, impor kendaraan dan bagiannya, dan impor tekstil juga mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih cepat apabila dibandingkan periode April-Juni 2017. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca migas didorong oleh net ekspor minyak yang mencatat defisit US$4,4 miliar di kuartal II-2018, naik 51,72% YoY.

Di sinilah lemahnya industri dalam negeri memakan korban. Barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri, akibat inferiornya sektor industri pengolahan. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam. Tidak hanya itu, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia.

Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Akibatnya, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.
Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 4% lebih di sepanjang kuartal II-2018. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia.

Setali tiga uang dengan harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 4% di periode yang sama.
Saat ekspor lesu, sementara impor barang-barang melambung pesat, otomatis neraca perdagangan barang pun tidak tertolong. Hal ini lantas menjadi pendorong jebolnya CAD di kuartal lalu.
(RHG/dru)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular