Dari Wall Street, bursa saham AS mengakhiri reli. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,18% dan S&P 500 turun 0,03%. Namun Nasdaq Composite masih bisa berakhir positif dengan kenaikan tipis 0,09%.
Wall Street memang sudah menjalani reli sejak beberapa hari terakhir sehingga koreksi ini menjadi semacam mekanisme penyehatan agar tidak terlalu panas (
overheat). Memang ada beberapa sentimen negatif yang menjadi pelatuk keputusan investor untuk sejenak keluar dari bursa saham New York.
Pertama adalah perkembangan perang dagang. China mengumumkan akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 25% bagi importasi produk-produk AS senilai US$ 16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk
made in USA yang menjadi korban.
Kementerian Perdagangan China menyebutkan bea masuk baru ini mulai berlaku efektif pada 23 Agustus. Pada hari yang sama, AS memang berencana mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk China sebesar US$ 16 miliar. Jadi, langkah China adalah
counter attack atas serangan Negeri Paman Sam.
Sejauh ini, China telah mengenakan bea masuk terhadap US$ 110 miliar importasi dari AS. Namun beberapa produk andalan AS belum masuk daftar, seperti minyak mentah dan pesawat terbang. Bukan tidak mungkin keduanya akan masuk jika perang dagang semakin memanas.
Saham-saham emiten yang mengandalkan China sebagai pasar ekspor utama mereka melemah dan menjadi pemberat Wall Street. Caterpillar turun 1,88%, Boeing turun 0,85%, dan 3M turun 0,69%.
Faktor kedua yang mempengaruhi Wall Street adalah harga minyak yang turun akibat proyeksi permintaan yang melambat. Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi pun ikut turun.
Persepsi ini membuat saham-saham sektor energi juga terkoreksi. Chevron anjlok 1,04% dan Exxon turun 0,66%.
Faktor ketiga adalah kinerja keuangan Walt Disney yang tidak sesuai harapan. Laba per saham (
Earnings per Share/EPS) pada kuartal II-2018 adalah US$ 1,87, di bawah ekspektasi pasar yaitu US$ 1,95.
Harapan pasar terhadap Disney memang sangat tinggi. Di tengah berbagai pencapaian positif dalam laporan keuangan, emiten Mickey Mouse ini tetap dihukum oleh investor.
Pendapatan operasional tumbuh 11% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya menjadi US$ 708 miliar. Pos ini disumbangkan oleh film-film
blockbuster seperti Avangers: Infinity War dan The Incredibles 2.
Sementara divisi pengelola taman bermain menyumbangkan laba mencapai US$ 1,3 miliar. Jumlah ini naik 15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Total pendapatan Disney tercatat US$ 15,23 miliar, naik 7%. Namun itu masih di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan total pendapatan di US$ 15,34 miliar.
Sementara laba bersih Disney berada di US$ 2,92 miliar atau menjadi US$ 1,95 per saham. Laba bersih ini melonjak 23,21% tetapi tetap saja tidak membuat investor puas karena EPS tidak sesuai dengan ekspektasi. Hasil akhirnya adalah saham Disney ditutup amblas 2,21% dan menjadi pemberat utama di Wall Street.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang
mixed cenderung melemah. Investor di pasar keuangan Asia perlu waspada, karena biasanya apa yang terjadi di Wall Street akan memberi warna bagi bursa Benua Kuning.
Sentimen kedua adalah perang dagang. Langkah China yang mengumumkan bea masuk baru terhadap produk-produk China bisa membuat tensi perdagangan dengan AS meninggi. Hawa perang dagang akan semakin terasa, dan itu bukan kabar baik.
Perang dagang adalah isu yang sangat besar dan bisa mempengaruhi
mood pasar secara signifikan. Sebab, perang dagang sama saja mempertaruhkan kelancaran arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di ujung tanduk, tidak heran investor dibuat kalang-kabut.
Akibatnya, ada kemungkinan investor akan lebih bermain aman dengan menghindari aset-aset berisiko seperti saham, apalagi di negara berkembang. Pelaku pasar akan lebih memilih menempatkan dana di aset-aset aman (
safe haven) seperti mata uang yen Jepang, franc Swiss, atau emas.
Jika hal ini terjadi, maka hasilnya sudah bisa ditebak. IHSG akan sulit mengulangi pencapaian kemarin karena kemungkinan bakal terjebak di zona merah seiring seretnya aliran modal masuk. Investor perlu mewaspadai risiko ini.
Sentimen ketiga adalah harga minyak yang turun. Pada pukul 05:22 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 3,24%. Penyebabnya adalah perang dagang yang menyebabkan persepsi penurunan permintaan dunia.
Penurunan harga minyak sudah terbukti menjadi salah satu faktor yang membuat Wall Street cenderung terkoreksi. Bukan tidak mungkin hal serupa terjadi terhadap IHSG. Ketika harga minyak turun, emiten migas dan pertambangan memang cenderung kurang diapresiasi.
Sentimen keempat adalah nilai tukar dolar AS yang lesu. Pada pukul 05:30 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama) melemah 0,14%.
Sepertinya dolar AS masih terjangkit ambil untung karena sudah menguat terlalu lama. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index masih menguat 0,49%. Sementara sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,07% dan sejak awal tahun sudah naik 3,21%. Oleh karena itu, mungkin dolar AS perlu menekan tombol
pause untuk beberapa saat karena mata uang ini butuh koreksi sehat.
Selain itu, belum ada katalis baru yang bisa mendorong laju dolar AS. Rapat The Federal Reserves/The Fed masih cukup lama, data-data penting sudah dirilis,
greenback benar-benar sedang kehabisan bensin.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembali menguat. Dalam tiga hari perdagangan terakhir, rupiah berhasil menguat di hadapan
greenback. Jika sepanjang hari ini dolar AS tetap lesu, maka rupiah bersiap menyongsong penguatan hari keempat.
Apabila rupiah sukses menguat, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Rupiah yang berpotensi menguat membuat aset-aset berbasis mata ini lebih seksi di mata investor karena bisa memberikan kenaikan nilai pada masa mendatang.
Sementara sentimen kelima yang perlu dicermati investor adalah dari dalam negeri yaitu respons terhadap rilis data penjualan ritel. Terhadap data ini, bisa ada dua persepsi yaitu kabar buruk dan kabar baik.
Kabar buruknya dulu. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Juni 2018 naik 2,3 secara YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,3% atau periode yang sama pada Juni 2017 yaitu 6,3%.
Data ini bisa menjadi indikasi adanya perlambatan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, dampaknya akan dirasakan oleh saham-saham sektor barang konsumsi sampai keuangan.
Namun ada kabar baiknya. Perlambatan penjualan ritel sepertinya lebih disebabkan oleh faktor musiman. Betul pada Juni 2017 penjualan ritel bisa tumbuh 6,3%, tetapi itu karena momentum Ramadan-Idul Fitri hampir sepenuhnya terjadi pada bulan itu.
Idul Fitri 2017 jatuh pada 25 Juni. Oleh karena itu, wajar ketika penjualan ritel pada Juni 2017 tumbuh cukup baik karena periode tersebut memang merupakan puncak konsumsi masyarakat.
Sementara tahun ini, Ramadan-Idul Fitri dibagi dua masing-masing 50% pada Mei dan Juni. Artinya, Juni hanya kebagian separuh dari puncak konsumsi masyarakat. Namun hanya kebagian separuh saja masih bisa naik 2,3% dibandingkan Juni 2017 yang hampir seluruhnya diisi oleh Ramadan-Idul Fitri.
Oleh karena itu, konsumsi tahun ini memang harus diakui sudah lebih kuat. Ini bisa menjadi katalis bagi kenaikan saham barang konsumsi sampai keuangan.
Apakah investor lebih mencerna kabar buruk atau kabar baik dari rilis data ini? Layak untuk disimak.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data inflasi China periode Juli 2018 (08.30 WIB).
- Rilis data Indeks Harga Produsen AS periode Juli 2018 (19.30 WIB).
- Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga tanggal 3 Agustus 2018 (19.30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
| Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
| PT MNC Investama Tbk (BHIT) | RUPSLB | 14:00 |
| PT Indosat Tbk (ISAT) | Rilis Laporan Keuangan Semester-I 2018 | - |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
| Indikator | Tingkat |
| Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
| Inflasi (Juli 2018 YoY) | 3.18% |
| Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
| Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
| Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
| Cadangan devisa (Juli 2018) | US$ 118.3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di
sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA