Cadev Anjlok Rp 166 T Dalam 8 Bulan Demi Redam Gejolak Rupiah

Alfado Agustio & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
07 August 2018 18:32
Bank Indonesia (BI) kembali merilis data terbaru cadangan devisa Indonesia.
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kembali merilis data terbaru cadangan devisa Indonesia. Per Juli 2018, cadangan devisa berada di posisi US$ 118,3 miliar atau anjlok US$ 1,5 miliar dibandingkan periode sebelumnya. Angka ini merupakan yang terendah sejak Januari 2017.

Penurunan cadangan devisa tidak bisa dihindarkan. Pelemahan rupiah yang terjadi akibat kondisi ekonomi global, terutama ancaman kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang agresif di 2018.

Teranyar, meski menahan suku bunga acuan di kisaran 1,75%-2% pada pertemuan bulan lalu, namun The Fed memberikan sinyal hawkish. Kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 4 kali menjadi terbuka lebar.


"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.

Data-data ekonomi AS memang terus-menerus menelurkan hasil positif pada bulan lalu. Produk Domestik Bruto (PDB) AS tumbuh sebesar 4,1% quarter-to-quarter (QtQ) pada kuartal II-2018 ini. Pertumbuhan ekonomi AS di kuartal II-2018 ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters.

Dengan capaian itu, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam di kuartal lalu menjadi yang tercepat sejak kuartal II-2014 yang sebesar 4,6%, dan menjadi pertumbuhan ekonomi kuartalan tertinggi ke-3 di AS sejak era Resesi Besar (The Great Recession).

Kemudian, lapangan kerja di negeri adidaya bertambah sebesar 219.000 di Juli 2018, jauh melampaui konsensus Reuters yang mengestimasikan penambahan sebesar 185.000. Capaian ini lantas menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018, saat terjadi peningkatan sebesar 241.000.

Tidak cukup sampai situ, pengeluaran konsumen AS, yang mana berkontribusi sekitar 70% bagi aktivitas ekonomi AS, meningkat sebesar 0,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada bulan Juni 2018. Pada pekan lalu, Departemen Ketenagakerjaan AS bahkan merilis tingkat pengangguran turun menjadi 3,9% atau turun dibandingkan bulan Juni 2018 yang sebesar 4%.

Alhasil, wajar jika The Fed menaikkan suku bunga yang lebih agresif untuk mencegah perekonomian AS yang overheating. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September 2018 mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%. Hal ini lantas menjadi bahan bakar bagi penguatan greenback. Mau tidak mau mata uang Asia, termasuk rupiah, pun tertekan.

Terlebih, rupiah juga minim mendapatkan sentimen dari dalam negeri. Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di atas US$25 miliar di tahun 2018.

Sebagai informasi, CAD Indonesia di Kuartal I-2018 mencapai US$5,5 miliar, meningkat 152,29% dari capaian kuartal I-2018 yang sebesar US$2,18 miliar. Bahkan, CAD di tiga bulan pertama tahun ini merupakan yang terparah sejak kuartal I-2013.

Dengan neraca perdagangan periode April-Juni 2018 sudah membukukan defisit sebesar US$1,34 miliar, CAD di kuartal II-2108 pun kemungkinan besar akan makin lebar. Rupiah tidak memiliki pijakan yang kuat untuk bisa menguat.

Sepanjang Juli 2018, rupiah telah terdepresiasi hingga 0,63%. Sementara sejak awal tahun, depresiasi telah menyentuh 6,41%. Akhirnya, terhitung sejak Desember 2017, BI telah menggelontorkan devisa hingga US$ 11,7 miliar atau sekitar Rp 166 triliun (kurs Rp 14.435/US$) untuk melakukan stabilisasi nilai tukar.

(dru) Next Article Ada Utang di Balik Rekor Cadangan Devisa Indonesia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular