Waspada, Hal Ini Harus Diperhatikan dalam Struktur Ekonomi RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 August 2018 16:21
Tantangan dan Peluang bagi Pertumbuhan Ekonomi ke Depan
Foto: REUTERS/Bob Riha, Jr.
Dari sisi peluang, Indonesia sebenarnya masih akan menyambut beberapa momen yang akan menyuntikkan energi positif bagi pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah masa kampanye calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan dimulai pada 23 September 2018 mendatang.

Melihat bagaimana pilkada serempak dapat mendongkrak ekonomi RI di kuartal II-2018, nampaknya pemilu presiden dan wakil presiden yang skalanya bahkan akan lebih masif, akan memberikan sumbangan besar bagi penguatan konsumsi ke depannya.

Tidak hanya itu, momen pertemuan tahunan organisasi Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia (World Bank) yang akan diselenggarakan pada 12 Oktober-14 Oktober 2018 di Bali juga bisa jadi momentum positif.

Sebagai informasi, dalam menyambut pertemuan ini, pemerintah telah menyiapkan fasilitas untuk tamu-tamu dari berbagai negara yang akan hadir. Tak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan mencapai ratusan miliar.

Ketua Pelaksana Harian pertemuan IMF-World Bank, Susiwijiono, menjelaskan pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp855,5 miliar. Anggaran tersebut merupakan pagu yang dianggarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dari 2017 dan 2018.

Nantinya uang sebesar itu akan mengalir menjadi belanja persiapan bandara dan konstruksi lainnya, hotel, hingga tempat pertemuan para peserta. Belum lagi menghitung faktor pengeluaran pengunjung, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan usaha lokal, dan pertumbuhan sektor pariwisata. Hal ini lantas diyakini akan menjadi obat kuat bagi pertumbuhan ekonomi RI di akhir tahun.

Meski demikian, di samping momen-momen positif itu, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan yang sudah menanti di depan.

Pertama, risiko kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Sejatinya, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin dalam 2 bulan terakhir, namun dampaknya kemungkinan masih minim di pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. Kemungkinan besar dampaknya baru akan terasa di kuartal III nanti.


Terlebih, peluang BI untuk menaikkan suku bunga acuan lebih agresif dalam beberapa waktu ke depan, masih terbuka lebar. Langkah ini diperlukan untuk mengantisipasi dampak kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang pada tahun ini diperkirakan mencapai 4 kali.

Seperti diketahui, The Federal Reserve/The Fed memang masih menahan suku bunga acuannya di 1,75%-2% pada pertemuan pekan lalu, namun bank sentral AS menyuarakan nada optimis mengenai prospek perekonomian Negeri Paman Sam.

"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.

Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September 2018 mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.

Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan tujuan meredam ekspektasi inflasi di negeri adidaya. Dengan begitu, AS akan terhindar dari overheating. Namun perkembangan ini lagi-lagi membuat aliran modal tersedot ke AS. Untuk mencegah capital outflow terjadi secara masif dan akhirnya menekan rupiah, mau tidak mau BI harus mengerek kembali suku bunga acuannya.

Kedua, pelemahan rupiah yang persisten. Mata uang garuda tercatat sudah melemah sebesar 6,71% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) hingga perdagangan siang ini. Pelemahan rupiah bisa menjadi racun bagi pertumbuhan ekonomi, seiring berpeluang besar menekan konsumsi masyarakat.

Seperti diketahui, hingga hari ini, perusahaan dalam negeri masih bergantung pada importase bahan baku dan barang modal dari luar negeri. Hal ini tidak lain merupakan buah dari lemahnya industri pengolahan domestik untuk menyediakan bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan dunia usaha di dalam negeri.

Alhasil, setiap kali perusahaan dalam negeri akan melakukan ekspansi dan meningkatkan produksi, impor pun terjadi secara besar-besaran. Dengan kondisi rupiah yang terpuruk, tentunya akan meningkatkan biaya impor, sekaligus mengerek biaya produksi perusahaan. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Mei 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 0,78% secara bulana (month-to-month/MtM), atau 8,48% secara YoY.



Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Ujung-ujungnya inflasi akan melambung, dan menekan daya beli masyarakat. Saat konsumsi masyarakat mengalami tekanan, tentu saja pertumbuhan ekonomi pun akan loyo.

Ketiga, risiko perang dagang AS-China yang masih mengantui. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan tarif baru pada US$60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan kenaikan tarif pada US$200 miliar produk China.

Meruncingnya tensi perdagangan antara dua raksasa ekonomi di dunia tersebut dikhawatirkan akan mengganggu alur perdagangan dunia, dan akhirnya memicu pelemahan ekonomi dunia. Saat ekonomi global melambat, dikhawatirkan permintaan komoditas ekspor unggulan Indonesia, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), akan mengalami penurunan. Dampaknya, komponen ekspor tidak mampu memberikan sumbangsih yang optimal bagi PDB tanah air.

(dru)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular