
Simak 7 Sentimen Penggerak Pasar di Pekan Depan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 August 2018 20:12

Keempat, BI akan menutup pekan depan dengan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), termasuk neraca transaksi berjalan, pada kuartal II-2018. Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Melihat neraca perdagangan yang mencatatkan defisit hingga US$1,34 miliar di periode April-Juni 2018, nampaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) masih akan melebar di kuartal lalu.
Hal ini jelas akan menjadi sentimen buruk bagi mata uang garuda. Pasalnya, transaksi berjalan seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Ketika devisa di suatu negara cukup memadai, maka bisa menjadi bantalan untuk menahan guncangan.
Oleh karena itu, mata uang negara dengan transaksi berjalan yang defisit biasanya mudah berfluktuasi karena pasokan valas bergantung kepada investasi portofolio yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Defisit transaksi berjalan memang biasanya ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, di periode lalu rumus itu nampaknya tidak berlaku.
Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus di kuartal I-2018, yaitu sebesar US$1,81 miliar, tetapi nilainya jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$6,93 miliar.
Akibatnya, jumlah surplus transaksi modal dan finansial di kuartal-I 2018 tidak bisa menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Alhasil, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$ 3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.
Apabila defisit NPI makin melebar di kuartal II-2018, maka rupiah semakin tidak mempunyai pijakan untuk dapat menguat.
Kelima, dari sisi eksternal, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan perang dagang AS-China. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan tarif baru pada US$60 miliar produk AS.
Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan kenaikan tarif pada US$200 miliar produk China. Mengutip Reuters, tarif terbaru ini akan menyasar 5.207 barang yang diimpor dari AS, mulai dari gas alam cair, hingga pesawat.
Meski demikian, pihak Negeri Paman Sam tidak gentar, terutama menuju kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa dan Meksiko.
"Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China dan, saya pikir, sebagian besar tim perdagangan kami akan memberitahu Anda, kami bergerak mendekati Meksiko," ujar Larry Kudlow,
kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih. "China semakin terisolasi dengan ekonomi yang lemah,” tambah Kudlow.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu.
“Kita Menang, tapi harus kuat,” tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter pada hari Sabtu (04/08/2018).
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat.
Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pada hari Jumat (03/08/2018), pasar saham China telah kehilangan status sebagai “bursa terbesar kedua di dunia”, setelah posisinya digeser oleh Jepang, untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan US$2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. (ray)
Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Melihat neraca perdagangan yang mencatatkan defisit hingga US$1,34 miliar di periode April-Juni 2018, nampaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) masih akan melebar di kuartal lalu.
Oleh karena itu, mata uang negara dengan transaksi berjalan yang defisit biasanya mudah berfluktuasi karena pasokan valas bergantung kepada investasi portofolio yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Defisit transaksi berjalan memang biasanya ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, di periode lalu rumus itu nampaknya tidak berlaku.
Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus di kuartal I-2018, yaitu sebesar US$1,81 miliar, tetapi nilainya jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$6,93 miliar.
Akibatnya, jumlah surplus transaksi modal dan finansial di kuartal-I 2018 tidak bisa menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Alhasil, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$ 3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.
Apabila defisit NPI makin melebar di kuartal II-2018, maka rupiah semakin tidak mempunyai pijakan untuk dapat menguat.
Kelima, dari sisi eksternal, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan perang dagang AS-China. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan tarif baru pada US$60 miliar produk AS.
Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan kenaikan tarif pada US$200 miliar produk China. Mengutip Reuters, tarif terbaru ini akan menyasar 5.207 barang yang diimpor dari AS, mulai dari gas alam cair, hingga pesawat.
Meski demikian, pihak Negeri Paman Sam tidak gentar, terutama menuju kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa dan Meksiko.
"Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China dan, saya pikir, sebagian besar tim perdagangan kami akan memberitahu Anda, kami bergerak mendekati Meksiko," ujar Larry Kudlow,
kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih. "China semakin terisolasi dengan ekonomi yang lemah,” tambah Kudlow.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu.
“Kita Menang, tapi harus kuat,” tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter pada hari Sabtu (04/08/2018).
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat.
Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pada hari Jumat (03/08/2018), pasar saham China telah kehilangan status sebagai “bursa terbesar kedua di dunia”, setelah posisinya digeser oleh Jepang, untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan US$2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. (ray)
Next Page
AS Merilis Data Ekonomi
Pages
Most Popular